Search

Wednesday, August 4, 2010

Public consultation (konsultasi public)

Public consultation (konsultasi public)

Oleh : Dian Kusumawardhani

Ide mengenai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TSP) atau yang lebih dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR) kini semakin diterima secara luas. Secara konseptual, TSP adalah sebuah pendekatan dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian social dalam operasi bisnis dan interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan dan kemitraan (Nuryana,2005). Salah satu wujud dalam praktek CSR adalah community development (CD). CD dalam beberapa hal didefinisikan sebagai penguatan potensi dan peran masyarakat untuk meraih potensi individu melalui pengorganisasian kelompok masyarakat untuk bertindak secara kolektif guna mengontrol kebijakan, proyek, program, dan kebijakan dengan mengefektikan peran-peran individu-individu masyarakat.

Pelaksanaan CD melalui beberapa proses, salah satu proses pelaksanaan CD adalah public consultation. Public consultation adalah langkah awal bagi pelaksanaan CD. Secara sederhana, public consultation diartikan sebagai media pertemuan antara pihak perusahaan dan pihak masyarakat dalam rangka sosialisasi.

Public consultation dapat dilakukan melalui beberapa media, diantaranya poster, spanduk, leaflet, film, berbagai kesenian local dan berupa institusi-institusi social-keagamaan local yang telah didayagunakan untuk konsultasi public, selain itu juga dilakukan melalui pertemuan resmi. Pihak masyarakat yang diundang dalam public consultation adalah para stakeholders, yaitu pemimpin masyarakat atau pihak yang paling berpengaruh dalam masyarakat itu sendiri. Public consultation ini semaksimal mungkin diupayakan sebagai proses sosialisasi dan untuk menjaring sebanyak mungkin aspirasi masyarakat.

Pendekatan yang dilakukan dalam public consultation ini hendaknya bersifat komunikatif, terbuka dan aspiratif. Para pelaksana public consultation harus mau mendengar semua aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat. Semakin banyak aspirasi yang didapat maka pelaksanaan public consultation ini semakin baik.

Pada dasarnya ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari pelaksanaan publc consultation ini. Pertama, dengan adanya public consultation ini, perusahaan dapat mengetahui anatomi social masyarakat. Kedua, anatomi social yang didapat dapat mempelancar proses CD selanjutnya, yaitu social mapping. Ketiga, public consultation yang diadakan dapat meminimalisir konflik antara perusahaan dan masyarakat saat perusahaan beroperasi. Masyarakat merasa ikut memiliki perusahaan karena sejak awal sebelum perusahaan berdiri mereka sudah dilibatkan. Jadi konflik dapat ditekan. Keempat, public consultation ini pada akhirnya dapat menciptakan CD yang benar-benar sesuai dengan kultur dan kebutuhan masyarakat.


COMMUNITY DEVELOPMENT (PEMBANGUNAN KOMUNITAS)

Oleh : Anis Ulfiyatin

Konsep tentang Community Development (Comdev) berhubungan dengan studi Coorporate Social Responsibility (CSR)?, dan terkadang antara keduanya cenderung disamakan oleh banyak orang, padahal dari konsep sendiri, ada perbedaan yang akan sangat berpengaruh pada tataran penerapannya sendiri di lapangan. Selanjutnya dibawah ini akan kami bedakan antara konsep dari Comdev dan CSR.

Satu hal yang masih menjadi perdebatan adalah kejelasan dari pada konsep CSR sendiri, yang meskipun wacana tentang hal tersebut sudah sangat luas, tetapi sampai saat ini masih belum ada konsep tunggal yang menjelaskannya, di bawah ini akan kami cantumkan salah satu definisi dari konsep CSR yang dikeluarkan oleh WBCSD,

Continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large” (WBCSD”.

Adapun definisi dari Community development sendiri adalah sebagai berikut,

The process of developing active and sustainable communities based on social justice and mutual respect, its about influencing power structures to remove the barriers that prevent people from participating in the issues that affect their lives. Its expresses values of fairness, equality, accountability, opportunity, choice, participation, mutuality, reciprocity and continuous learning” (Wikipedia).

Dalam beberapa hal, Community Development dapat juga didefinisikan sebagai penguatan potensi dan peran masyarakat untuk meraih potensi individu melalui pengorganisasian kelompok masyarakat untuk bertindak secara kolektif guna mengontrol kebijakan, proyek, program, dan kebijakan dengan mengefektifkan peran individu-individu dalam masyarakat tersebut (Mata kuliah CSR).

Dalam membahas image suatu perusahaan, selama ini perusahaan selalu dianggap sebagai biang rusaknya lingkungan, pengeksploitasi sumber daya alam, dan hanya mementingkan profit semata. Kebanyakan para perusahaan melibatkan dan memberdayakan masyarakat hanya untuk mendapat simpati. Program mereka hanya sebatas sumbangan, santunan, dll. Tetapi dengan adanya konsep tanggung jawab sosial perusahaan sebagaimana dijelaskan diatas, akan memberikan konsep yang berbeda dimana perusahaan secara sukarela menyumbangkan sesuatu demi masyarakat yang lebih baik, dan karenanya, citra perusahaan di mata masyarakat sangat berpengaruh terhadap produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Dan salah satu dari bentuk tanggung jawab sosial perusahaan ini adalah Community Development. Di mana perusahaan lebih menekankan pembangunan social dan pembangunan kapasitas masyarakat, sehingga akan menggali potensi masyarakat lokal yang menjadi modal social perusahaan untuk terus maju dan berkembang. Pada akhirnya akan tercipta dan tumbuh trust dan sense of belonging dalam diri masyarakat.

Secara lebih jelas letak dan posisi Community Development dalam keseluruhan konsep CSR adalah sebagai berikut;

Selanjutnya para praktisi Comdev akan terlibat dalam berbagai hal seperti organisasi-organisasi perkumpulan dan berperilaku selayaknya seorang yang belajar dengan komunitas yang ada guna mengindentifikasi masalah, kepemilikan, lokasi sumber permasalahan, menganalisis struktur kekuasaan lokal, kebutuhan pokok masyarakat setempat, dan berbagai hal lain yang berhubungan dengan karakter komunitas (case study). Selanjutnya, para praktisi biasa disebut sebagai aktivis sosial yang dalam prakteknya menggunakan sumber sosial untuk mendapatkan fokus masalah ekonomi dan politik yang komunitas gunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Dan bentuk dari Community Development yang melingkupi sumber akademis untuk problem komunitas dalam hal pertukaran yang saling menguntungkan adalah Community-Based Participatory Research (CBPR). Dan salah satu perbedaan prinsipil antara CBPR dengan penelitian tradisional adalah, CBPR berkebalikan dalam arti implementasi program, jika sebelumnya aktifis CBPR menciptakan pengetahuan untuk memajukan pengetahuan penelitian sendiri, maka pada konsep CBPR adalah proses yang interaktif, yang bukan merupakan satu penelitian coorporasi, refleksi, dan penuh aksi dalam siklus dan lingkaran prosesnya sendiri. Dan beberapa program dan pendekatan berbeda yang digunakan dalam pelaksanaan Community Development dapat melingkupi;

1. community economic development

2. community capacity building

3. social capital formation

4. political participatory development

5. nonviolent direct action

6. ecologically sustainable development

7. asset-based community development

8. faith-based community development

9. community practice social work

10. community mobilization

11. community empowerment

12. community participation

The History…

Konsep Community Development sendiri ternyata telah lama dikenal oleh masyarakat, meskipun konsep awalnya bukan Community Development, tetapi substansi darinya sangat cocok dengan penerapan Community Development yang ada sekarang. Comdev telah menjadi satu hal yang terkadang secara eksplisist maupun implisist terlihat dalam setiap tujuan dari komunitas masyarakat, pengharapan akan kehidupan yang lebih baik, dan bertujuan mencapai suatu usaha kolektif menjadi sejarah awal munculnya gagasan comdev sendiri. Pada abad 18-an, ketika muncul usaha yang paling awal dari seorang sosialis, yaitu Robert owen (1771-1851) mencoba untuk berfikir tentang perencanaan satu komunitas, dan membentuknya menjadi komunitas yang sempurna, selanjutnya pemikiran tersebut terus diadopsi oleh tokoh lain seperti Lanark, Oneida, Mohandas K. gandhi, Swaraj, Vinoba Bhave, Jawaharlal Nehru, dan tokoh-tokoh lainnya. Pada tahun 90-an, dikarenakan mulai munculnya banyak kritik dari banyak program yang ada dibawah pemerintahan Robert Putnam dalam penjelajahan ulang kapitalis sosial, Community Development International kemudian menjadi lebih memfokuskan pada masalah dan formasi kapitalis sosial, dan akhirnya berkembang seperti sekarang.

Satu poin penting yang perlu di ingat adalah ada perbedaan konsep antara Coorporasi dengan Community Development, secara teoritik Comdev sangat berbeda dengan pembangunan, masyarakat Comdev mengacu kepada pembangunan komunitas karena areanya terbatas pada komunitas dan acuan kehidupan sosialnya adalah kebudayaan komunitas yang paguyuban (gemeinchaft).

Sumber bacaan yang dipakai;

· Wibisono, Yusuf, 2007, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, Gresik: Fascho Publishing.

· Mashud, Musta’in, Msi., 2008, Bahan Kuliah CSR, Surabaya: Universitas Airlangga.

· http://en.wikipedia.org/wiki/communityDevelopment. Di akses dari internet pada hari senin, tanggal 21 April 2008, jam 18.20.

· http://klikharry.wordpress.com/2007/02/07/tanggung-jawab-sosial- perusahaan-investasi-bukan-biaya/. Di akses dari internet pada hari senin, tanggal 21 April 2008, jam 19.20.

Diskusi CSR Community FISIP Dengan Lingkar Studi CSR

Rekan-rekan mahasiswa Sosiologi UNAIR,

Terima kasih atas pertanyaannya, kami akan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut sejelas mungkin.

Pertama, “Mengapa lokasi pembukaan areal pertambangan kok di lokasi hutan lindung? bukankah di areal hutan lindung tidak ada masyarakat yg hidup disana, kalaupun ada pasti dalam kuantitas yg sangat kecil.”

Pertambangan dibuka dengan logika bahwa di dalam tanah di suatu lokasi tertentu ada bahan tambang berupa mineral yang bisa diambil dan dipasarkan. Kegiatan pertambangan dimulai dengan perusahaan tambang yang memiliki izin mencari bahan tambang melakukan eksplorasi (pencarian), kemudian setelah menemukan apa yang mereka cari mereka kemudian meminta izin dari pemerintah (atau tidak meminta izin, seperti yang dilakukan oleh penambang liar) untuk melakukan eksploitasi (pengambilan). Kalau diberikan izin, maka mereka akan melakukan kontruksi (pembangunan infrastruktur) terlebih dahulu, baru kemudian mereka bisa mengeksploitasi bahan tambang. Jadi, perusahaan tambang melakukan penambangan berdasarkan kandungan mineral yang berharga, bukan berdasarkan ada atau tidaknya manusia di situ. Yang terjadi adalah sebaliknya: penambangan selalu membawa masuk manusia.

Kedua, “Hutan jenis apa saja yg akan dipakai pembukaan areal pertambangan? tentu saja selain hutan lindung, apa termasuk juga mangroove dan hutan produksi?”

Pertambangan TIDAK memperhitungkan apa yang ada di permukaan Bumi, melainkan apa yang ada di dalamnya. Sehingga, pertanyaan mengenai jenis hutan apa saja menjadi tidak relevan. Mineral bisa ditemukan di bawah berbagai jenis hutan, di bawah danau, di bawah laut, di bawah pemukiman penduduk, dsb. Hanya saja, kalau sebuah perusahaan pertambagan mau dianggap ber-CSR, maka ketika hendak mengambil keputusan eksploitasi, ia harus memperhitungkan aspek sosial dan lingkungan dalam keputusannya. Ini disebut sebagai penapisan investasi pertambangan atau mining investment screening. Ada standar yang dibuat oleh WWF dan diberi judul sangat menarik: To Dig or Not to Dig, yang memuat berbagai pertimbangan sosial dan lingkungan yang perlu diperhatikan oleh perusahaan tambang. Kalau ternyata risiko dampak negatif lingkungan dan sosial dari eksploitasi ternyata sangat besar, maka seharusnya perusahaan memutuskan untuk tidak melakukan pertambangan. Menambang di hutan lindung bisa masuk ke dalam pertambangan yang berisiko tinggi, sehingga secara umum harus dihindari. Namun, di Indonesia kategori “hutan lindung” terkadang tidak mewakili kondisi ekologis yang penting. Sudah terlalu banyak daerah berstatus hutan lindung yang rusak parah, bukan karena penambangan.

Ketiga, “Jika areal pertambangan benar2 berdiri di lokasi hutan, lalu bagaimana nasib flora dan fauna yg ada disana, bukankah flora dan fauna yg ada di hutan lindung akan terancam kehidupannya?”

Pertambangan ada dua jenis, terbuka (open pit mining) dan tertutup (underground mining). Pertambangan terbuka akan membuat seluruh tanaman dan hewan di tempat yang dibuka tersebut menjadi hilang. Kalaupun setelah pertambangan perusahaan itu kembali menutup lubang-lubang yang ditinggalkan (reklamasi) serta menanami kembali (reboisasi, replantasi), tetap saja keanekaragaman hayatinya turun jauh. Pertambangan tertutup dilakukan di bawah tanah, tanpa “mengupas” hutan, kecuali di tempat masuknya orang dan peralatan ke dalam tanah. Dengan sifat yang demikian, banyak pihak berpendapat bahwa risiko lingkungannya jauh lebih kecil, walaupun risiko keamanan dan biayanya meningkat. Sepengetahuan kami, pertambangan tertutuplah yang diperbolehkan dilakukan di hutan lindung, namun kami harus mengeceknya lagi.

Keempat, “Pada lokasi hutan mana saja yang akan dikenai program CSR? apa hutan sekitar, atau hutan di wilayah lain yg memerlukan penanganan lebih lanjut, (mis; hutan gundul di daerah lain diluar lokasi pertambangan).”

Dalam perspektif CSR, perusahaan memiliki tanggung jawab sebatas wilayah dampaknya. Jadi, perusahaan pertambangan harus bertanggung jawab di seluruh wilayah konsesinya. Lebih jauh, dalam transportasi alat pertambangan dan hasil tambang, perusahaan juga akan mempunyai pengaruh, sehingga tanggung jawab mereka juga mencakup wilayah transportasinya. Kalau mau menambahi tanggung jawab utama ini dengan juga memerhatikan hutan di wilayah lain, tentu saja sangat mulian. Namun yang paling penting adalah terlebih dahulu mengurus wilayah konsesi dan transportasinya.

Kelima, “Jika pertambangan itu dibangun dan ‘hanya’ membutuhkan wilayah bagian bawah tanah saja, lalu instalasi dg teknologi spt apa yg akan digunakan?, bukankah mengambil material dari dalam tanah akan menyebabkan tanah bagian atas turun kebawah?”

Teknologi pertambangan dibedakan dari sifat teruka atau tertutupnya pertambangan itu (lihat jawaban butir ketiga). Akan sangat panjang saya menjawabnya di sini. Namun, yang penting adalah hasilnya. Pertambangan terbuka akan menghasilkan lubang-lubang seperti danau raksasa, yang bisa terisi air atau tidak. Pertambangan tertutup tidak terlihat, namun bisa jadi tanahnya mengalami penurunan, walau biasanya tidak juga tampak oleh mata awam.

Terakhir, ada beberapa butir yang penting untuk diperhatikan:

1. PP 2/2008 adalah PP mengenai tarif, BUKAN izin pertambangan. Kalau mau melawannya, saya kira salah alamat. Yang harus dikritisi adalah bagaimana pemerintah memberikan izinnya.

2. Tarif yang ditetapkan pada PP 2/2008 bukanlah satu-satunya tarif yang dikutip oleh pemerintah dari pertambangan, jadi tidak benar kalau tarif tersebut dianggap sebagai pembayaran atas “jasa lingkungan”, apalagi “biaya sewa”. Ada sederet biaya yang dikenakan oleh pemerintah atas perusahaan pertambangan.

3. Secara historis, pemerintah telah terlebih dahulu memberikan konsesi kepada 13 perusahaan pertambangan, baru kemudian membuat perubahan status hutan lindung, dan UU 41/1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa hutan lindung tak boleh ditambang. Karena peraturan seharusnya tidak berlaku surut, maka perusahaan pertambangan yang sudah mendapat konsesinya kemudian meminta pemerintah menepati janji konsesinya, dan karena itu keluarlah PERPU dan kemudian menjadi UU yang isinya khusus membolehkan 13 perusahaan pertambangan untuk melakukan penambangan di hutan lindung, karena memang konsesi telah diberikan sebelum status hutan lindung dan UU Kehutanan keluar.

4. Pembolehan itu merupakan kenyataan pahit, namun menurut kami harus dibuat karena pemerintah tidak seharusnya ingkar janji terhadap perusahaan yang telah diberikan konsesinya. Pertimbangan paling penting di sini adalah agar iklim investasi tetap terjaga. Bayangkan saja kalau dunia melihat bahwa Indonesia bisa memberikan konsesi kepada perusahaan A pada tahun X kemudian beberapa tahun sesudahnya dicabut secara sepihak. Pemerintah pasti kalah di arbitrase internasional, dan reputasi Indonesia sebagai negara tujuan investasi melorot.

5. Hingga kini baru 3 dari 13 perusahaan pertambangan tersebut yang sudah mengajukan izin eksploitasinya.

6. Menurut kami, CSR-lah yang berpotensi mencegah perusahaan-perusahaan itu menambang di hutan lindung, manakala lokasi konsesi secara sosial dan lingkungan benar-benar terancam bila perusahaan melakukan eksploitasinya. Perusahaan harus disadarkan pada berbagai risiko penambangan, walaupun mereka telah memegang izin eksploitasi, kalau terlalu berrisiko sebaiknya mereka membatalkan niatnya, dengan pertimbangan: kehilangan investasinya, atau kerusakan reputasinya.

No comments:

Post a Comment