Search

Wednesday, August 4, 2010

IMPLEMENTASI CORPORATE SOSIAL RESPONSIBILITIES (CSR)

IMPLEMENTASI CORPORATE SOSIAL RESPONSIBILITIES (CSR)

DALAM ERA MODERNISASI DAN GLOBALISASI

Anis Ulfiyatin, S.Sos

Abstrak:

Globalisasi yang melanda dunia pada saat sekarang ini pada dasarnya merupakan suatu pertumbuhan aktivitas manusia dari lingkup kecil menuju kearah lingkup yang lebih besar yang dirasa dalam lingkup kecil sudah tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan hidupnya dan berusaha mencapai kemuniti lain, wilayah lain. Dunia pada masa sekarang sedang dalam proses ‘menyatu’, mulai munculnya usaha-usaha yang secara cepat mengarah ke globalisasi dalam berbagai bidang. Khususnya dibidang ekonomi, dan ini mendorong munculnya persaingan antar bangsa dan Negara. Banyak korporasi raksasa dari luar selanjutnya dikenal dengan multi-national corporations yang menguasai sistem perekonomian dunia dan sekaligus mengkerdilkan Negara-negara lain yang lebih lemah, termasuk di Indonesia. Kegagalan pembangunan yang ada menunjukkan kegagalan pula dari paradigma teori modernisasi yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi yang selanjutnya disalahgunakan oleh kekuasaan demi kepentingannya. Muncul alternative paradigma pembangunan yang lain, yaitu paradigma pembangunan berkelanjutan dengan CSR sebagai tag-line nya, yang berupaya untuk secara bersama-sama mensinergikan antara pertumbuhan ekonomi dengan tidak mengesampingkan MNC yang ada, tetapi juga memperjhatikan kebutuhan untuk keberlanjutan baik dibidang lingkungan, ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan sosial manusia.

Kata kunci: Globalisasi ekonomi, CSR.

1. Pendahuluan

Konsep tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate sosial responsibility (CSR) yang dikemukakan H. R. Bowen (1953), muncul sebagai akibat karakter perusahaan yang mencari keuntungan tanpa memerdulikan kesejahteraan karyawan, masyarakat, dan lingkungan. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang disahkan 20 Juli 2007 menandai babak baru pengaturan CSR di negeri ini. Di Indonesia, praktik CSR belum menjadi perilaku umum, karena banyak perusahaan yang menganggap sebagai cost center. Namun, di era informasi dan teknologi serta desakan globalisasi, tuntutan menjalankan CSR semakin besar. Selain itu, pelaksanaan CSR merupakan bagian dari good corporate governance (GCG), yakni fairness, transparan, akuntabilitas, dan responsibilitas, termasuk tanggung jawab terhadap lingkungan fisik dan sosial, yang mestinya didorong melalui pendekatan etika pelaku ekonomi.

Oleh karena itu, di dalam praktik, penerapan CSR selalu disesuaikan dengan kemampuan perusahaan dan kebutuhan masyarakat. Idealnya terlebih dahulu dirumuskan bersama tiga pilar yakni dunia usaha, pemerintah, dan masyarakat, dan kemudian dilaksanakan sendiri oleh perusahaan. Pengusaha seharusnya menjalankan bisnis tidak semata untuk profitability melainkan lebih dari itu, sustainability. Pemikiran yang mendasari CSR yang sering dianggap inti dari etika bisnis adalah bahwa perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban ekonomis dan legal kepada shareholder tapi juga kewajiban terhadap stakeholder. Kemitraan antara korporasi dan stakeholder menjadi keharusan dalam lingkungan bisnis. Dengan demikian, bisnis akan mengutamakan hal-hal yang berkaitan dengan membangun kemitraan bersama perusahaan, pemerintah, dan masyarakat sipil, untuk menyatakan bahwa pasar dapat membantu masyarakat terhadap kesinambungan hidup mereka.

Program kemitraan yang sukses dimulai dari komitmen yang kuat dari pimpinan perusahaan untuk mengubah paradigmaa konvensional (self-interest) ke paradigmaa baru (enlightened common interests). Reward yang diperoleh perusahaan dari pola kemitraan ini antara lain (i) program lebih tepat sasaran dan terorganisasi, (ii) merek produk perusahaan semakin diapresiasi oleh pelanggan terutama dalam membentuk loyalitas, (iii) dan pada akhirnya, perusahaan akan mendapatkan reputasi yang diharapkan. Peran pemerintah sebagai penjamin keamanan dan penegak hukum serta menciptakan iklim.

Bisnis yang kondusif sangat menentukan keberlanjutan hidup perusahaan. Pemerintah juga dituntut melakukan intervensi pasar melalui pajak, subsidi untuk mendorong penggunaan renewable resources, pengembangan eco-efficiency serta kebijakan distribusi resources yang mengindahkan equity. Masyarakat juga berperan sebagai penghubung antara pemerintah dan perusahaan. Masyarakat diharapkan aktif dan mengoreksi dampak pembangunan, menyampaikan aspirasi publik dan dinamisator keberdayaan publik. Upaya perusahaan menerapkan CSR memerlukan sinergi dari pemerintah dan masyarakat. Pemerintah sebagai regulator diharapkan dapat menumbuhkembangkan CSR tanpa membebani perusahaan. Peran masyarakat juga diperlukan dalam upaya perusahaan memperoleh rasa aman dan kelancaran dalam berusaha.

Salah satu bentuk aktualisasi CSR adalah community development dengan programnya yang didedikasikan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, masalah pekerjaan, peningkatan pendidikan, kesehatan masyarakat, penguatan kelembagaan lokal serta tersedianya basic infrastruktur yang memadai. Di dalam keterbatasan sumber daya, sering kali pemerintah mengalami kebuntuan mencari solusi terhadap masalah masyarakat, antara lain kesenjangan ekonomi yang semakin lebar, kemiskinan, pengangguran, pendidikan, anak jalanan, dan masalah sosial lainnya. Meskipun tanggung jawab utama berada pada pemerintah, namun hal ini juga tanggung jawab semua pihak sebagai anggota masyarakat. Upaya yang dapat dilakukan adalah memetakan masalah dan kebutuhan masyarakat secara komprehensif berikut solusinya.

Beberapa projek strategis yang tanggung jawab utamanya berada pada pemerintah, tentu dapat dibiayai oleh APBD, selebihnya bisa melibatkan dunia usaha dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk bersama-sama mengatasi secara tuntas. Pemerintah dapat mengambil peran penting di tengah situasi hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan kemiskinan, pengangguran, pendidikan, anak jalanan, dan masalah sosial lainnya, pemerintah harus berperan sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR dengan menetapkan bidang penanganan yang menjadi fokus, dengan masukan pihak yang kompeten. Pemerintah dan perusahaan dituntut membuat mekanisme komunikasi dengan banyak pihak dan memperhatikan kepentingan mereka. Setelah itu, pemerintah dapat memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan pada kalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya ini. Pemerintah juga dapat mengawasi proses interaksi antara pelaku bisnis dan kelompok-kelompok lain agar terjadi proses interaksi yang lebih adil dan menghindarkan proses manipulasi satu pihak terhadap yang lain. Melalui peran pemerintah, perusahaan diharapkan lebih bertanggung jawab memberikan kontribusi yang bermakna bagi kesejahteraan masyarakat, perekonomian nasional, serta dasar-dasar pendidikan sosial dan lingkungan.

Corporate sosial responsibility atau CSR ini telah menjadi cerita menarik untuk diperagakan oleh banyak pihak. Sebagian dari perusahaan besar di Indonesia malah telah memperopagandakan kepatuhan mereka terhadap implementasi CSR. Dan banyak sekali seminar dan training tentang corporate sosial responsibility diselenggarakan oleh masyarakat korporasi Indonesia. CSR adalah sebuah gaung dari negara-negara besar ekonomi dunia, seperti Eropa dan Amerika Serikat. Dan seperti biasanya, gaung tersebut langsung akan membuat semua masyarakat korporasi Indonesia menjadi terpesona dengan seribu kekagumannya. Walaupun semua ini seperti sebuah musim saja, begitu trend CSR redup, maka semua orang akan melupakannya. CSR adalah sebuah niat baik yang perlu segera kita berikan respon positif.

2. Globalisasi Perusahaan-perusahaan Multinasional (MNC)

Pada dasarnya semua proses pengintergrasian ekonomi nasional menjadi ekonomi global (globalisasi) merupakan harapan dan hasil perjuangan dari perusahaan-perusahaan multinasional karena pada dasarnya merekalah yang paling diuntungkan dari proses tersebut. Selama dua dasawarsa menjelang berakhirnya abad millennium, perusahaan-perusahaan multinasional berskala raksasa tersebut (TNCs dan MNCs) meningkat jumlahnya secara pesa. Selain jumlahnya meningkat, MNC juga dapat menguasasi perekonomian dunia. Kekuatan ekonomi MNC yang luar biasa tersebut akan semakin bertambah jika globalisasi berjalan.

Merekalah yang paling berkepentingan melalui mekanisme globalisasi sistem produksi, investasi dan pasar yang mengatur mekanisme dari semua sistem produksi dan pasar tersebut ditentukan oleh WTO. Hal ini berarti bahwa segala yang melalui proses dan mekanisme globalisasi juga merupakan perebutan kekuasaan ekonomi dan kekuasaan Negara-negara kepada MNC.

Dari penjelasan di atas, sebenarnya telah dapat dikonstruksi suatu konsep, mekanisme, maupun anatomi dari globalisasi. Globalisasi sebagai proses pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam sistem ekonomi dunia pada dasarnya diperankan oleh aktor-aktor utama proses tersebut. Ada tiga aktor utama, pertama, adalah MNC, yakni perusahaan multinasional yang besar yang dengan dukungan Negara-negara yang diuntungkan oleh MNC tersebut membentuk dewan perserikatan perdagangan global yang dikenal dengan WTO yang sekaligus menjadi aktor kedua. Ketiga, adalah lembaga keuangan global seperti IMF, dan Bank Dunia. Kewenangan lain yang mereka miliki adalah mampu mendesak dan mempengaruhi serta memaksa Negara-negara melakukan penyesuaian kebijakan nasionalnya bagi kelancaran proses pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi global.

Sistem kerja demikian tersebut sebenarnya dilandaskan pada suatu ideology yang dikenal dengan neo-liberalisme. Dimana para penganut neo liberalism ini percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai sebagai hasil normal dari kompetisi bebas. Kompetisi yang agresif adalah akibat dari kepercayaan bahwa pasar bebas adalah cara yang efisien dan tepat untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Dalam proses selanjutnya, persoalan yang muncul kemudian adalah adanya perebutan sumber daya alam, yang merupakan faktor ekonomi yang bersifat tidak dapat diperbaharui dan menjadi ancaman global jika saja pada akhirnya habis. Semakin diperparah dengan tingkah laku yang dilakukan oleh para perusahaan raksasa tersebut, yaitu dilakukannya proses ekonomi dan industrialisasi dengan tidak memperhatikan pada pelestarian lingkungan dan sumber daya alam yang telah dirusaknya. Para perusahaan tersebut cenderung abai atas dampak yang mereka lakukan terhadap lingkungan, dan celakanya akibat dari kebijakan sistem produksi global tersebut, yang menjadi korban dari dampak kelalaian atas lingkungan dari proses produksi tersebut, tidak hanya Negara mereka sendiri. Tetapi juga Negara lain, dan inilah yang paling banyak terjadi sebagaimana yang saat ini telah banyak terjadi di Indonesia.

Dimana banyak perusahaan multi nasional dari luar negeri yang melancarkan penetrasi pasar dan melakukan investasi modal serta menjalankan proses produksi dan industrialisasi mereka di Negara lain, sebagaimana yang terjadi di Indonesia saat ini. Tidak terhitung lagi berapa banyak jenis perusahaan multi nasional dan perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di Indonesia, dan sekaligus melakukan pengerukan atas sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesia ini. Mulai dari sumber daya bahan bakar fosil, tambang, emas, dan lain sebagainya. Dan sudah tak terhitung pula berapa banyak kasus kerusakan dan bencana alam yang diakibatkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut di Negara kita ini, dan lagi-lagi tentu saja warga Negara Indonesia sendiri yang harus menanggung semua itu, belum dengan kerusakan alam yang diakibatkan oleh kesemua proses produksi tersebut.

Masih segar dalam ingatan kita tentang bencana lumpur di daerah Porong Sidoarjo, berapa banyak orang yang dirugikan dari bencana tersebut. Yang diakibatkan oleh lalainya perusahaan raksasa yang ada dalam mengambil dan menguras kekayaan alam kita. Sebelumnya, ada juga bencana habisnya gunung-gunung dan hilangnya kelestarian alam yang tidak akan dapat kembali selama bertahun-tahun kedepan akibat fatalnya kerusakan yang ditimbulkan oleh proses produksi dari perusahaan multi nasional tersebut, yaitu pada lokasi penambangan yang ada di Papua (PT. Freeport). Begitu juga dengan yang terjadi di wilayah Bojonegoro, konflik antara Negara pasar dan perusahaan yang berkepanjangan akibat tidak adilnya perilaku yang dilakukan oleh pihak Exxon Mobil kepada warga sekitar lokasi pengeboran minyak bumi tersebut, terdengar cukup akrab di telinga kita memang. Tragisnya, kesemuanya ada di depan mata kita sendiri, dan di dalam Negara kita sendiri pula. Tetapi selama ini Negara cenderung menjadi penonton saja, tidak ada tindakan tegas dari adanya bencana dan dampak sosial dan alam yang diakibatkan oleh perusahaan-perusahaan raksasa tersebut.

Proses pembangunan yang dikejar hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi saja, dan selama semuanya menguntungkan beberapa orang, maka tidak aka nada tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Tanggung jawab perusahaan hanya sampai pada dipatuhinya kesepakatan yang dibuat sebelumnya, tanpa ada pengontrolan dan pengendalian yang dilakukan selama proses ekspolitasi dan proses produksi tersebut berlangsung. Negara cenderung pasrah dan tidak memiliki kewenangan sama sekali, karena logika berpikir mereka mengatakan, kesemuanya merupakan konsekuensi nyata dari adanya sistem global ini sendiri.

3. Kedaulatan dalam Tekanan Globalisasi

Secara umum, konsep tentang kedaulatan ini dibagi menjadi dua, yaitu kedaulatan dalam arti positif dan kedaulatan yang negative. Kedaulatan dalam arti yang negative adalah hak dasar dari sebuah Negara untuk meminta aktor international lain untuk tidak melakukan intervensi terhadap Negara tersebut. Baik intervensi dalam bidang ekonomi, politik, maupun militer dan lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan kedaulatan positif adalah kemampuan dari sebuah Negara untuk melakukan control efektif dalam wilayah negaranya. Dalam kedaulatan positif sebuah Negara melakukan kewajibannya yang bersifat otoritatif ke dalam setiap aspek kehidupan dari masyarkatnya dan wilayah yurisdiksinya. Negara dalam hal ini melakukan pemerintahan yang stabil, melakukan perlindungan terhadap warga negaranya dan setiap jengkal wilayahnya. Hal ini sekaligus menjasi syarat dari eksistensi sebuah Negara.

Sedangkan globalisasi di sisi yang lain sering diartikan secara berbeda-beda oleh banyak pihak, dimana pada intinya kesemuanya memperlihatkan suatu proses pengintegrasian seluruh belahan dunia kedalam sebuah sistem ekonomi yang berwujud global market economy, sistem politik yang berwujud cosmopolitan democracy, sistem budaya yang seringkali dikejawantahkan dalam perwujudannya dengan budaya pop atau pop culture, serta sistem sosial yang berwujud adanya open civil society.

Dalam buku yang lain dijelaskan bahwa terdapat empat cirri dasar dari konsep globalisasi ini, yaitu :

a) Meluasnya hubungan sosial (stretched sosial relations): hal ini mengacu pada munculnya saling keterhubungan antara jaringan sosial-budaya, ekonomi dan politik di masyarakat yang melintasi batas Negara-bangsa;

b) Meningkatnya intensitas komunikasi (intensification of flaws): berkaitan dnegan makin meningkatnya intensitas hubungan antar aktor dengan munculnya perkembangan ilmu dan teknologi;

c) Meningkatnya interpenetrasi (increasing interpenetration): interpenetrasi yang terjadi di hampir segala bidang mengakibatkan budaya dan masyarakat yang berada pada wilayah berbeda akan saling berhadapan pada level local dan international.

d) Munculnya infrastruktur global (global infrastucture): pengaturan institusional yang bersifat formal dan informal yang diperlukan agar jaringan global bekerja.

Globalisasi memberikan dinamika yang penting bagi kedaulatan sebagai sebuah konsep maupun dalam aplikasinya di politik global. Terbukanya akses komunikasi beserta kecepatannya, perpindahan melalui alat transportasi, munculnya jaringan-jaringan sosial, ekonomi-politik baru yang melintasi batas Negara mengurangi makna dan kapasitas Negara sebagai pemegang ototitas penuh. Dan beberapa tantangan yang muncul dari era globalisasi ini antara lain sebagai berikut :

a) Kekuatan pasar global. Kekuatan pasar global sangat mudah melakukan penetrasi terhadap suatu Negara dan memberikan efek besar bagi ekonomi nasional Negara tersebut. Kekuatan yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan dunia atau MNC misalnya, merupakan ancaman tersendiri bagi Negara-negara kecil lainnya. Pasar global dikuasai dan dalam genggaman mereka semua. Dan kesemua isu tersebut akan mempengaruhi Negara manapun dengan mudah dan memberikan dampak yang besar bagi otoritas pemerintahan Negara tersebut.

b) Perkembangan norma internasional seperti hak asasi manusia dan hokum kemanusiaan. Dasar dari hak asasi manusia bersifat universal dan menempatkan manusia sebagai aktor yang universal dan mempunyai hak-hak yang harus dilindungi oleh semua aktor international, termasuk Negara. Akan tetapi keterlibatan aktor internasional lainnya dalam mengaplikasikan perlindungan terhadap hak asasi manusia memberikan tantangan besar terhadap prinsip non-intervensi yang melekat dalam konsep kedaulatan sebagaimana yang dijelaskan di atas.

c) Kontrol terhadap ketertiban dan keamanan. Negara tidak lagi mempunyai control mutlak terhadap keamanan Negara dan warga negaranya. Di Negara maju warga Negara mempunyai pilihan untuk masalah keamanan pribadi mereka, selain dari pada yang disediakan Negara. Dalam kasus yang lain, di negara-negara lemah dan sedang berkembang, Negara sulit untuk bisa mempunyai otoritas keamanan mutlah terhadap semua teritorinya.

Tantangan tersebut memunculkan pertanyaan yang menyangsikan efektifitas dan otoritas Negara. Apabila Negara memiliki otoritas dan control penuh dalam wilayah negaranya, mengapa kemudian Negara menjadi lemah ketika dihadapkan dengan tantangan di atas. Terdapat dua ekstrem dalam melihat dampak globalisasi terhadap kedaulatan ini.

Pada ekstrem kanan, terdapat golongan yang menyatakan peran dan otoritas Negara yang berkurang dengan berbagai istilah seperti the diminished nation-state, the decline of nation-state, atau bahkan matinya Negara. Pada intinya mereka menyatakan Negara tidak dapat mempunyai otoritas penuh lagi dalam wilayah otoritasnya. Lebih jauh, dinyatakan bahwa dalam global society Negara tidak akan punya peran signifikan lagi.

Sedangkan pada ekstrem kiri, adalah golongan tradisionalis yang melihat masalah-masalah tersebut hanya dibesar-besarkan, bahwa Negara menghadapi permasalahan itu benar. Akan tetapi masalah-masalah baru tersebut tetap tidak mengancam kedaulatan Negara. Negara dengan otoritas penuhnya dapat menyelesaikan semua persoalan yang muncul. Negara masih merupakan aktor terkuat dalam panggung global ini.

Hanya saja, ketika kita mencoba untuk memposisikan diri di tengah-tengah ekstrimis di atas, dalam hubungannya dengan proses modernisasi dan globalisasi saat ini, seringkali batasan fisik antar wilayah Negara menjadi tidak lagi berarti. Tidak adanya sekat antara Negara yang satu dengan Negara lain menjadikan permasalahan kedaulatan ini cenderung bermuara pada bentuknya untuk mempertahankan posisi dan eksistensi negaranya dengan cara tidak menutup diri dari pergaulan dan percaturan dunia, tetapi juga harus membedakan serta menyeimbangkan antara kepentingan perkembangan ekonomi dalam negeri dan kepentingan Negara lain.

4. Tuntutan Ekolog Politik agar Perusahaan Lebih Bertanggung Jawab

Pernyataan “One person profit’s may be another’s toxic dump” merupakan pernyataan keprihatinan yang banyak digunakan oleh ekolog politik. Pernyataan itu mengacu pada terciptanya hubungan asimetris antara masyarakat dengan negara dan swasta dalam mengelola sumberdaya alam. Pernyataan tersebut mengacu pada keterpinggirkan (marginality) dan kerentanan (vulnerability) atas ketidakberdayaan masyarakat akar rumput mengelola sumberdaya alam ketimbang elit-elit masyarakat lokal yang bekerja sama dengan negara dan perusahaan. Apabila sebuah daerah memiliki sumberdaya alam yang berlimpah, tampaknya masyarakat mempunyai kecenderungan untuk sulit mendapatkan akses pengelolaan potensi tersebut. Besar kemungkinan apabila potensi yang ada hanya menjadi komoditas ekonomi politik elit-elit negara dan perusahaan. Kemudian, ketidakadilan yang dirasakan masyarakat akan berujung pada konflik ekologi sebagai ekspresi kekecewaan. Begitu juga dengan ancaman bencana alam, yang sangat mungkin terjadi akibat lemahnya manajemen pengelolaan sumberdaya alam. Masyarakat akar rumput merupakan elemen sosial yang sangat riskan menjadi korban bencana alam. Berbagai deekologi yang kini terjadi di berbagai belahan Bumi, masyarakat akar rumputlah yang paling pertama dan paling lama merasakan bencana tersebut.

Tekanan hebat yang memaksa eksploitasi sumberdaya alam berlebih bagi penggerakan roda kapitalisme menjadi penyebab utama terciptanya kerentanan bagi masyarakat akar rumput. Dengan memahami dehumanisasi dan deekologi yang kerap terjadi akibat sistem industrialisasi tidak ramah lingkungan dewasa ini, maka tidak mengherankan apabila ekolog politik sering kali memberikan kritik atas kinerja sosial lingkungan perusahaan. Kata kunci keterpinggiran dan kerentanan yang hinggap pada masyarakat lokal merupakan representasi fakta kekuasaan asimetris. Birokrasi negara-negara Selatan masih menunjukan kebijakan tidak berimbang terhadap masyarakat akar rumput ketimbang kebijakan ekonomi politik bagi entitas perusahaan, struktur pemerintahan, dan elit-elit masyarakat sendiri. Bahkan pada beberapa kasus, negara-negara tertentu tengah mengalami fase weak-state dan menjelang collapse-state. Menyadari fenomena quasi-state (menyerupai negara) yang kini menghinggapi perusahaan multinasional di satu sisi dan weak-state di sisi lain, maka atas nama peningkatan kesejahteraan masyarakat luas mulai digagas bentuk gerakan sosial yang beradaptasi dengan arus politik sedemikian rupa. Apabila dalam gagasan awal kelompok Marxis mendambakan masyarakat tanpa kelas, perkembangan pasca-PD II gerakan tersebut mulai menyesuaikan diri terhadap gigantisme perusahaan.

Kiri Baru (new left) merupakan arus gerakan sosial yang mendorong entitas negara dan perusahaan untuk berfikir ulang mengenai studi dan implementasi kebijakan dalam memainkan peranannnya. Dalam sejarah gerakan sosial modern, Kiri Baru memaksa Negara dan perusahaan untuk meninjau kembali aspek-aspek humanisme dan ekologisme yang terbengkalai. Isu lingkungan hidup, isu humanisme dalam lingkup kelompok pekerja, isu feminisme dan penghargaan terhadap anak merupakan sebagian aspek sosial lingkungan yang menjadi tenaga pendorong untuk menilai kinerja negara dan terlebih lagi kebertanggungjawaban entitas bisnis. Bila pemikiran neoliberal semakin mendambakan masyarakat industri tanpa kontrol Negara dan invisible hands sebagai dampak positif keberadaan perusahaan, maka Kiri Baru “melunakkan” pemikirannya. Kelompok ini “menerima” fakta hegemoni perusahaan namun dengan berbagai catatan. Belakangan kelompok ini menjelma menjadi ntitas yang berfungsi layaknya pengawas bagi jejak kinerja negara dan perusahaan. Fungsi watchdog dengan berbagai pernyataan seputar kinerja sosial dan lingkungan perusahaan dan fungsi konsultatif dengan berbagal rekomendasi mutakhir merupakan dua fungsi yang menjadikan masyarakat sipil sebagai pilar sosial yang patut diperhitungkan.

Tanggung jawab perusahaan terhadap seluruh pemangku kepentingan inilah yang kini menjadi tuntutan penggiat sosial lingkungan. Gagasan aktivis untuk menerima kenyataan bahwa perusahaan menjelma menjadi penguasa aktivitas kehidupan masyarakat ini diiringi dengan tuntutan atas tanggung jawab perusahaan. Dewasa ini tanggung jawab tersebut dikenal dengan CSR. Pada akhirnya, tuntutan atas tanggung jawab perusahaan tidak hanya semata-mata pada

penanganan isu sosial secara aksidental – seperti yang kini dimaknai luas oleh masyarakat. Hakikat CSR yang kini menjadi tuntutan penggiat sosial lingkungan adalah tanggung jawab perusahaan sepanjang kegiatannya. Tidak hanya saat operasional perusahaan, tapi dalam rentang waktu semenjak persiapan, pra-konstruksi, konstruksi, operasional dan produksi hingga masa akhir dan menutup operasional perusahaan. Tidak hanya bersifat sumbangan sosial semata dan bersifat aksidental, tapi tanggung jawab perusahaan terhadap seluruh pihak yang terpengaruh dengan kegiatan perusahaan – shareholder, masyarakat, konsumen, masyarakat seputar tapak pabrik, perangkat pemerintah, dan lingkungan hidup.

Ekologi politik telah menuntun para pemangku kepentingan untuk menuntut tanggung jawab yang menyeluruh perusahaan atas jejak kegiatannya. Tuntutan itu hendaknya membuat CSR dimaknai secara substansial dan komprehensif. Tidak seperti kebanyakan pemaknaan CSR saat ini, yang dangkal dan kosmetikal.

5. Konsep Hubungan Negara, Perusahaan dan Masyarakat: Negara, Perusahaan sebagai Bagian dari Masyarakat (Community)

Konsep tentang hubungan antara perusahaan, masyarakat, dan Negara dalam proses globalisasi yang telah dijelaskan sebelumnya tadi, menjadi isu strategis dan cenderung rentan terhadap konflik antar ketiganya. Karena pada dasarnya, mereka semua adalah para pelaku utama dalam sistem dan proses yang ada dan sedang berlangsung. Dalam istilah yang lain, aktor-aktor yang dimaksud disini seringkali disebut juga dengan menggunakan konsep stakeholder.

Sering didengar bahwa stakeholder akan mengacu pada bentuk-bentuk kelompok sosial manapun di masyarakat, sehingga kadang tidak dapat dibedakan pula mana yang individu bergerak bebas sebagai anggota masyarakat atau sebagai stakeholder yang mempunyai hubungan dengan perusahaan. Secara definisi sendiri, stakeholder ini mempunyai pengertian sebagai bagian anggota komuniti, atau kelompok individu, masyarakat yang berasal dari wilayah perusahaan atau perusahaan tersebut berdiri, wilayah Negara dan bisa juga Negara lain (global) yang mempunyai pengaruh terhadap jalannya suatu perusahaan. Dan kelompok tersebut juga memiliki kepentingan antara satu dengan lainnya. Atau dengan kata lain adalah pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan mempunyai pengaruh terhadap jalannya suatu perusahaan.

Sehingga jika mengacu kepada pengertian aslinya, stakeholder berarti seorang atau organisasi yang mempunyai bagian dan kepentingan pada bentuk perusahaan. dan biasanya mereka memiliki tiga ciri atribut sebagai stakeholder, yaitu dimilikinya kekuasaan, legitimasi, dan kepentingan. Dan dari kesemua aktor yang ada, dalam era global seperti sekarang ini yang sebenarnya mempunyai peluang paling besar untuk mengambil semua keuntungan dari kesempatan yang ada adalah perusahaan atau pasar. Selain sebagai pihak yang memiliki kepentingan, legitimasi, dan kekuasaan, juga sekaligus sebagai pihak yang paling pantas menyandang konsekuensi dari semua proses produksi yang dilakukannya. Selain itu, majunya pendidikan warga Negara di era globalisasi ini juga secara tidak langsung memberikan kontribusi dari adanya kekuatan dan keberanian yang dimiliki warga untuk menuntut hak mereka, tidak hanya warga dalam Negara tersebut. Bahkan bukan sesuatu yang tidak mungkin tuntutan atas kewajiban kepada masyarakat dan lingkungan ini juga datang dari masyarakat internasional dan dunia sebagai konsekuensi dari proses globalisasi ini.

Tetapi bagaimanapun juga, upaya perusahaan sendiri dalam meningkatkan perannnya tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat dan kelestarian lingkungan tersebut membutuhkan sinergi dari multi pihak yang solid, baik dari pemerintah sendiri maupun dari komunitas atau masyarakat yang ada. Atau dengan kata lain, harus ada pola kemitraan antara ketiganya untuk saling bersepakat dalam bekerjasama untuk memenuhi sebuah kewajiban melaksanakan kegiatan tertentu, bersama-sama pula menanggung resiko maupun keuntungan dan secara berkala meninjau kembali hubungan kerjasama tersebut.

Ada tiga prinsip penting dalam membentuk kemitraan tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut :

a) Kesetaraan dan keseimbangan (equity)

Pendekatan yang ada bukan top down atau bottom up, bukan pula berdasar pada kekuasaan semata, namun hubungan yang saling menghormati, saling menghargai dan saling percaya.

b) Transparansi

Transparansi diperlukan untuk menghindari rasa saling curiga antar mitra kerja.

c) Saling menguntungkan

Suatu kemitraan harus membawa manfaat bagi semua pihak yang terlibat.

Adapun konsep kemitraan yang terjalin antara pemerintah dan dunia usaha atau perusahaan sendiri seharusnya adalah hubungan kemitraan yang sebenarnya dapat dideskripsikan, antara lain : pertama, dunia usaha atau perusahaan merupakan mitra pemerintah untuk mengelola sumber daya yang hampir tidak mungkin jika semuanya harus dikelola oleh pemerintah sendiri. Kedua, dunia usaha membantu pemerintah dalam memutar roda perekonomian dan menggerakkan pembangunan. Dengan adanya aktifitas ini, maka terciptalah lapangan pekerjaan dan mengurangi pengangguran. Ketiga, dunia usaha memberikan penghasilan kepada pemerintah antara lain dalam bentuk pajak dan retribusi. Agar terjalin suatu kemitraan yang saling menguntungkan, pemerintah seyogyanya memikirkan optimalisasi perannya dalam mendukung program tersebut.

Sedangkan konsep kemitraan antara masyarakat dan dunia usaha sendiri, seharusnya terjalin kerjasama yang sama kuatnya juga antara keduanya. Peran masyarakat terutama komunitas local sangat menentukan dalam upaya perusahaan memperoleh rasa aman dan kelancaran dalam berusaha. Jika masyarakat local yang ada merasa diajak dan dirangkul dalam keseluruhan proses yang dilakukan oleh perusahaan yang ada, maka sebenarnya akan sangat menguntungkan bagi perusahaan sendiri nantinya. Yaitu dengan dimilikinya jaminan sosial (sosial security). Begitu juga dengan masyarakat, dan kesemuanya akan memberikan mutual benefit diantara kedua belah pihak. Hubungan timbal balik inilah yang akan menumbuhkan rasa memiliki bagi warga di sekitar perusahaan tersebut bearda. Secara tidak langsung, perusahaan juga akan mendapatkan dukungan dari warga masyarakat yang ada (licence to operate). Dan bentuk hubungan kemitraan yang mutualisme dan saling menguntungkan inilah yang selanjutnya menjadi bidang garapan dalam program CSR.

Tidak dapat dipungkiri lagi dengan dunia yang semakin mengglobal ini, apapun yang terjadi di belahan dunia tertentu akan mempengaruhi belahan dunia lainnya. Dengan dunia global ini, masyarakat di dunia yang semula terpecah-pecah dalam klasifikasi Negara, agama, suku bangsa dan lainnya, seakan-akan telah menjadi masyarakat dunia yang satu. Globalisasi tidak hanya mempunyai dimensi ekonomi namun ia juga mempunyai dimensi politik, teknologi, dan budaya. Sehingga dengan cara pandang ini, perusahaan tidak lagi dipandang sebagai bagian luar dari masyarakat, tetapi ia bagian dari masyarakat itu sendiri.

Berkaitan dengan masyarakat luas dimana perusahaan merupakan bagian dari mereka, perusahaan atau perusahaan dapat dipandang sebagai suatu komuniti yang akan selalu mempunyai hubungan sosial dengan komuniti yang lain, dimana akan terdapat juga stereotype terhadap komuniti-komuniti lain. Dalam paradigmaa ini kepedulian pihak perusahaan akan selalu dipertanyakan sebab ia telah menjadi bagian dari masyarakat yang lebih luas, dimana apapun yang terjadi di dalam masyarakat akan juga mempengaruhi pihak perusahaan sendiri. Demikian sebaliknya. Pihak perusahaan tidak dapat lagi kemudian memanfaatkan sepenuhnya akses-akses kuasa para penguasa untuk mengamankan kepentingan-kepentingannya.

Situasi di atas pada akhirnya membuat pihak perusahaan memikirkan kembali strategi bisnisnya. Mereka dituntut untuk lebih peduli terhadap kepentingan-kepentingan masyarakat umum, lebih bertanggung jawab, lebih memperhatikan kepentingan jangka panjang daripada kepentingan-kepentingan yang sifatnya sesaat dan sepihak, dan terutama adalah kepedulian mereka akan asas keberlanjutan dan partisipasi yang selama ini tidak menjadi perhatian mereka sepenuhnya.

6. Lingkup Penerapan CSR yang Baik

Sebagaimana definisinya yang tidak tunggal, beragam pendapat terkait dengan lingkup penerapannya juga telah dilontarkan.misalnya saja lingkup penerapan CSR gagasan prince of wales international business forum yang mengusung lima pilar. Pertama, upaya perusahaan untuk menggalang dukungan SDM, baik internal (karyawan) maupun eksternal (masyarakat). Caranya adalah dengan melakukan pengembangan dan memberikan kesejahteraan kepada mereka, istilahnya building human capital. Kedua, memberdayakan ekonomi komunitas, istilahnya strengthening economies. Ketiga, menjaga harmonisasi dengan masyarakat sekitar agar tidak terjadi konflik, istilahnya assessing sosial cohesion. Keempat, mengimplementasikan tata kelola yang baik, istilahnya encouraging good corporate governance. Kelima, memperhatikan kelestarian lingkungan, istilahnya protecting the environment.

Sumber yang lain lagi menyatakan, bahwa hasil penelitian atas praktek tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR di tujuh Negara Asia mengklasifikasikan CSR mereka ke dalam tiga aspek, yaitu: keterlibatan dalam komunitas, pembuatan produk yang bisa dipertanggungjawabkan secara sosial, dan employee relations. Yang termasuk ke dalam keterlibatan dalam komunitas itu diantaranya pengembangan masyarakat (community development), pendidikan dan pelatihan kegiatan keagamaan dan olah raga. Sedangkan yang masuk ke dalam kegiatan pembuatan produk yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial adalah kesehatan dan keselamatan kerja, proses dan produk yang ramah lingkungan termasuk kepedulian terhadap konservasi lingkungan hidup. Adapun yang masuk ke dalam employee relations adalah kesejahteraan pekerja dan keterlibatan pekerja.

Umumnya, perusahaan-perusahaan yang telah berhasil menerapkan CSR menggunakan pertahapan sebagai berikut :

a) Tahap Perencanaan

Perencanaan ini terdiri dari tiga langkah utama, yaitu: Pertama, awareness building, merupakan langkah awal untuk membangun kesadaran mengenai arti penting CSR dan komitmen manajemen. Kedua, CSR assessement, merupakan upaya untuk memetakan kondisi perusahaan dan mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu mendapatkan prioritas perhatian dan langkah-langkah yang tepat untuk membangun struktur perusahaan yang kondusif bagi penerapan CSR secara efektif. Ketiga, membangun CSR manual building, yaitu dengan menyusun pedoman secara manual atau pedoman implementasi CSR itu sendiri.

b) Tahap Implementasi

Pada tahapan ini, pada dasarnya ada tiga pertanyaan yang mesti dijawab. Siapa orang yang akan menjalankan, apa yang mesti dilakukan, dan juga bagaimana cara melakukan sekaligus alat apa yang diperlukan. Atau dalam istilah manajemen popular, kesemua pertanyaan tersebut dapat diartikan menjadi proses organizing, staffing, directing, controlling, dan evaluating.

c) Tahap Evaluasi

Setelah program CSR diimplementasikan, langkah selanjutnya adalah melakukan evaluasi program. Yang selalu harus dilakukan secara konsisten dan berkala sewaktu-waktu. Evaluasi dilakukan bukan untuk mencari-cari kesalahan. Justru tahapan ini dilakukan untuk bahan pertimbangan pengambilan keputusan dna kebijakan kedepannya.

d) Pelaporan

Pelaporan diperlukan dalam rangka membangun sistem informasi baik untuk keperluan proses pengambilan keputusan maupun keperluan keterbukaan informasi material dan relevan mengenai perusahaan. jadi selain berfungsi untuk keperluan para pemegang saham atau shareholder, juga untuk stakeholder lainnya yang memerlukan.

7. Penutup

Dari kesemua bahasan di atas, pada akhirnya dapat diambil beberapa kesimpulan, diantaranya sebagai berikut :

a) Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa implementasi CSR oleh perusahaan-perusahaan di era globalisasi ini telah menjadi kebutuhan mutlak, bukan lagi sekedar kewajiban.

b) Secara internal, pendekatan neo liberal dan kapitalisme dunia pada dasarnya mengakui peranan CSR bagi kesuksesan MNC ini sendiri. Perbedaannnya adalah lebih pada titik awal dimana MNC tersebut memulai perannya dalam CSR nya, atau dalam kata lain tujuan awal yang digunakan oleh masing-masing MNC tersebut saat memutuskan untuk menjalankan program CSR mereka.

c) Dari sisi eksternal, tekanan terhadap perusahaan-perusahaan raksasa dunia atau MNC untuk menerapkan CSR semakin besar, karena selain di pantau dari Negara asalnya, di Negara tujuan juga berbagai lembaga non pemerintah sekalipun, turut berkepentingan untuk mengawasi semua kegiatan mereka.

d) Penerapan CSR sudah menjadi keharusan bagi semua perusahaan yang masih menginginkan perusahannnya maju dna diterima oleh masyarakat local, bahkan masyarakat dunia. Globalisasi dalam hal ini memberikan kontribusi peran yang tidak sedikit dalam menekan para pelaku ekonomi dunia tersebut untuk terus melakukan dan menerapkan CSR dalam perusahaan-perusahaan mereka.

e) Dengan melakukan CSR dalam perusahaan dan proses usaha mereka, sebenarnya secara tidak langsung hal ini akan menimbulkan keuntungan tersendiri bagi semua pihak. Menghilangkan konflik kedudukan dan dinamika hubungan yang selalu polemik antara masyarakat, Negara, dan pasar. Dengan CSR, maka ketiganya dapat dipertemukan dan dapat menjalin hubungan kemitraan yang saling menguntungkan satu sama lain. Bagi perusahaan, mereka akan mendapat suatu jaminan sosial (sosial security) dan juga ijin sosial (sosial licence )dari masyarakat, sedangkan bagi masyarakat, akan merasa dilibatkan dan muncul perasaan memiliki dengan perusahaan yang ada disekitar mereka. Begitu juga dengan Negara, akan mampu memposisikan dirinya sebagai pihak yang memantau dan melakukan evaluasi atas semua proses sosial yang ada. Sehingga aka nada sistem check and balance antara kesemua aktor yang ada tersebut.

Sumber Bacaan

Budiman, Arief, 2000, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Budimanta, Arif, edt., 2004, Corporate sosial Responsibility: Alternatif Bagi Pembangunan Indonesia, Jakarta: ICSD (Indonesia Centre for Sustainable Development).

Fakih, Mansoer, DR., 2001, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Jakarta: Insist Press.

Giddens, Anthony, 2003, Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Parker, S.R. edt., 1985, Sosiologi Industri, Jakarta: Bina Aksara.

Sukada, sonny, edt., 2007, Membumikan bisnis Berkelanjutan: Memahami konsep dan Praktik Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Jakarta: Indonesia Business Links.

Wibisono, Yusuf, 2007, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR (corporate sosial responsibility), Gresik: Fascho Publishing.

ALTERNATIF STRATEGI UNTUK MENCIPTAKAN GCC (good corporate culture) DI MATA MASYARAKAT

CSR (corporate social responsibility) :

ALTERNATIF STRATEGI UNTUK MENCIPTAKAN GCC (good corporate culture) DI MATA MASYARAKAT

Oleh :

Anis Ulfiyatin, S.sos

“Submitted for The ASC PAPER COMPETITION 2009”


CSR (corporate social responsibility) :

ALTERNATIF STRATEGI UNTUK MENCIPTAKAN GCC (good corporate culture) DI MATA MASYARAKAT

Oleh :

Dian Kusumawardani, S.Sos

Anis Ulfiyatin, S. Sos


Tulisan ini akan membahas tentang CSR (Corporate Social Responsibility) sebagai strategi menciptakan GCC (Good Corporate Culture) di mata masyrakat. CSR sebagai sebuah konsep yang diyakini mampu menciptakan hubungan yang harmonis antara perusahaan dan masyarakat. Banyak manfaat yang akan diterima perusahaan bila melaksanakan program CSR, oleh karena itu perusahaan harus memaknai CSR sebagai sebuah kewajiban bukan kesukarelaan. Pelaksanaan CSR membutuhkan kerjasama dari semua pihak yang ada di perusahaan tersebut. Bila CSR telah dimaknai sebagai nilai-nilai perusahaan dan dilaksanakan secara kolektif, maka CSR akan menjadi budaya perusahaan. Salah satu keuntungan bagi perusahaan yang menjalankan program CSR adalah menciptakan image positif di mata masyarakat.


1. Pendahuluan.

Secara harfiah, budaya perusahaan adalah “peramuan” berpola top-middle-bottom yang kemudian disemaikan ke setiap sel organisasi dan menjadi nilai-nilai kehidupan bersama yang dapat muncul dalam bentuk perilaku formal maupun informal (Moeljono, 2006: 58). Dalam istilah lain yang lebih sederhana, budaya perusahaan adalah serangkaian nilai (perusahaan) yang muncul dalam bentuk perilaku kolektif korporasi dan anggota organisasinya, sehingga selama nilai-nilai perusahaan belum diaplikasikan dalam perilaku bersama anggotanya, maka belum dapat dikatakan sebagai suatu budaya perusahaan.

Banyak korporasi yang dengan bangga dan secara terbuka mensosialisasikan slogan-slogan dan prinsip-prinsip korporasinya, dan mengatakan kepada khalayak umum bahwa itu semua merupakan budaya perusahaan yang dijalankannya. Tetapi sebagaimana penjelasan sebelumnya, bahwasanya selama prinsip dan slogan yang diusung oleh korporasi-korporasi tersebut belum teraplikasikan dalam perilaku bersama anggotanya, maka semua itu bukanlah suatu bentuk implementasi dari budaya perusahaan yang dimaksud.

Pertamina sebagai salah satu perusahaan besar di Indonesia, pun juga memiliki komitmen tata nilai yang menjadi acuan mereka dalam setiap tindakan yang mengatasnamakan perusahaannya, adalah 6C (Clean, Competitive, Confident,Custumer Focused, Commersial, Capable), keenam tata nilai inilah yang kemudian mereka klaim sebagai budaya perusahaan. Meskipun berdasarkan hasil survey yang dilakukan salah satu karyawan pertamina sendiri terhadap pengetahuan mereka sebagai karyawan dari Pertamina atas adanya tata nilai tersebut dan juga arah perusahaan ini kedepannya, ternyata tidak lebih dari 5% yang mengetahuinya (http://www.pertamina.com, diakses pada hari Jum’at, 27 Februari 2009 jam 12.00).

PT. Excelcomindo Pratama Tbk. (XL) pada tahun 2007 yang lalu berhasil mendapat penghargaan dari MAKE (most admire knowledge enterprise) setelah dinilai sebagai salah satu perusahaan yang paling dikagumi karena berhasil memenuhi beberapa kriteria dalam ukuran penilaian MAKE Study. Beberapa kriteria yang dimaksud antara lain adalah menciptakan budaya perusahaan yang didorong oleh pengetahuan, mengembangkan knowledge worker melalui kepemimpinan manajemen senior, menyajikan produk/jasa/solusi berbasis pengetahuan, memaksimalkan modal intelektual perusahaan, menciptakan lingkungan untuk berbagi pengetahuan secara kolaboratif, serta dinilai berhasil menciptakan suatu organisasi pembelajaran (http://www.kompas.com, diakses pada hari Jum’at, 27 Februari 2009 Jam 12.30).

Tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan PT. Unilever Tbk., perusahaan yang telah menjadi penyedia consumer product dan mempunyai peran penting di Indonesia ini juga telah dianggap memiliki corporate culture yang mapan. Adapun budaya perusahaan yang dinilai telah mapan tersebut merupakan nilai-nilai yang kemudian menjadi visi mereka kedepan dalam menjalankan roda produksi dan kemajuan perusahaan ini kedepan, yang dikenal dengan top six (Custumer, Consumer and community focus, Teamwork, Integrity, Making things happen, Sharing of joy, dan Excellence). Dan masih banyak lagi perusahaan di Indonesia yang maju dan berkembang dengan berpegang pada nilai dan visi masing-masing yang kemudian dinamakan sebagai budaya perusahaan mereka.

Dari kesemua contoh budaya perusahaan yang telah disebutkan diatas, kiranya terlihat bahwa semua perusahaan yang ada selama ini memang dapat dikatakan telah memiliki budaya perusahaan yang baik, dan tentunya memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi kemajuan perusahaan tersebut. Dari segi tujuan, budaya perusahaan tentu saja dapat dikatakan sebagai motivator dan dorongan bagi semua pihak internal perusahaan dalam menjalankan dan memajukan perusahaan masing-masing dengan cara mematuhi dan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai ”agama” mereka. Apapun yang akan mereka lakukan atas nama perusahaan, maka seharusnya tidak boleh melenceng keluar dari prinsip nilai yang mereka pegang dan menjadi budaya perusahaan tersebut.

Sedangkan sebagai feedback dari adanya budaya perusahaan yang junjung dan dipatuhi oleh masing-masing perusahaan yang ada, tentu saja pada akhirnya juga tidak akan lepas dari unsur pencapaian peningkatan profit bagi perusahaan sendiri. Inilah yang kemudian selama ini kurang disadari oleh perusahaan, bahwasanya perusahaan tidak hidup sendiri, karena pasti berada di tengah-tengah masyarakat, dan juga tentu saja membutuhkan masyarakat untuk terus menjalakan roda produksi perusahaan tersebut. Ketika melihat sebagian contoh budaya perusahaan tersebut, dapat dilihat bahwa selama ini budaya perusahaan memang telah ada, tetapi ada satu hal yang luput dari perhatian pihak perusahaan, yaitu pentingnya memperhatikan keberadaan masyarakat sebagai salah satu stakeholder eksternal perusahaan.

Karena itu tentu saja seharusnya budaya yang diterapkan dalam perusahaan juga harusnya memperhatikan dan berusaha menciptakan image perusahaan yang baik dimata masyarakatnya. Tidak hanya fokus pada budaya yang dari, oleh dan untuk pihak internal perusahaan sendiri saja. Selama ini setiap perusahaan (meskipun telah ada beberapa perusahaan di Indonesia yang mendapat pengecualian di sini) yang ada selalu membicarakan mengenai bagaimana manajemen kepemimpinan yang baik dan tepat bagi kemajuan perusahaan, bagaimana dan strategi apa yang dapat ditempuh untuk terus meningkatkan omzet produksi dan penjualan, dan sebagainya. Tanpa mempertimbangkan dan melihat bagaimana kondisi pihak stakeholder eksternal dalam hal ini masyarakat. Apa saja yang seharusnya dapat mereka lakukan dan mereka berikan kepada masyarakat luas atau khususnya masyarakat yang ada disekitar industri yang ada, apakah selama ini mereka telah menunaikan hak dan kewajiban mereka kepada para masyarakat yang ada, dan sebagainya.

Dari sini kami memandang bahwa budaya perusahaan yang coba dibangun oleh perusahaan di Indonesia selama ini masih belum dapat dikatakan baik, sempurna dan berhasil. Terbukti dari seringnya perusahaan yang ada didemo oleh masyarakat umum, semua itu memperlihatkan bahwa perusahaan masih belum mampu menciptakan kesan dan image yang baik di mata masyarakatnya meskkipun dengan adanya berbagai bentuk budaya perusahaan yang telah mereka coba bangun sebelumnya. Tanpa mereka sadari, sebenarnya yang selama ini mereka sentuh dan coba bangun hanyalah budaya perusahaan untuk sesama anggota internal perusahaan sendiri, dan di sisi lain mengacuhkan nilai dan budaya apa yang seharusnya juga mereka terapkan kepada pihak eksternal perusahaan (masyarakat).

Isu inilah yang kemudian akhirnya menggejala di beberapa perusahaan di negara luar, yaitu tentang konsep dan implementasi CSR (corporate social responsibility) dari perusahaan sebagai wujud konkrit perusahaan dalam melakukan dan menjalankan semua tanggung jawabnya kepada masyarakat. Sehingga akhirnya paradigma yang dipakai perusahaan dalam menjalankan perusahaannya selalu mengacu kepada prinsip-prinsip dasar CSR sendiri, dan berpegang pada prinsip dasar 3P (people, planet, dan profit).

Tidak mengherankan jika kemudian capaian kemajuan berbagai perusahaan yang ada di Indonesia selama ini belum menunjukkan kemajuan yang signifikan di mata masyarakat, kalaupun ada yang mengklaim bahwa perusahaannya mengalami kemajuan dan perkembangan yang pesat, semua itu hanyalah klaim yang datang dari pihak internal sendiri, bukan berdasarkan penilain obyektif pihak eksternal dan tanpa dukungan yang kuat dari pihak masyarakat sendiri.

2. Isu Utama dan Tujuan.

Dalam keterkaitannya dengan strategi apa yang dapat dilakukan untuk menciptakan GCC (good corporate culture) ini, maka isu utamanya adalah : (1) terfokusnya upaya perusahaan-perusahaan untuk menciptakan budaya perusahaan yang ternyata hanya mementingkan dan ditujukan kepada pihak internal perusahaan saja (2) perusahaan-perusahaan masih menggunakan paradigma lama dalam menjalankan perusahaannya, yaitu hanya mementingkan perolehan profit semata tanpa adanya keseimbangan dengan pentingnya masalah kesejahteraan masyarakat dan juga penggunaan sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab dan jauh dari keberlanjutan (3) citra atau image perusahaan dimata masyarakat selama ini masih buruk dan dirasa menjadi ancaman tersendiri dan bukannya sebagai mitra (4) sering terjadinya konflik antara pihak perusahaan dan masyarakat karena tidak imbangnya pemenuhan hak dan kewajiban oleh perusahaan yang ada kepada masyarakat sendiri.

Berdasarkan isu-isu di atas, tulisan ini mencoba menelaah dengan menggunakan metode kepustakaan tentang implementasi CSR sebagai strategi menciptakan GCC di mata masyarakat, dengan tujuan bahwa (1) untuk mengkaji secara lebih jelas beberapa aktifitas kegiatan perusahaan dan industri yang berdampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya dengan mengacuhkan keberadaan masyarakat ini (2) mencoba memberikan alternatif strategi yang dapat dilakukan untuk menciptakan budaya perusahaan yang baik di mata masyarakat dengan menggunakan strategi penerapan CSR di perusahaan-perusahaan tersebut (3) menjelaskan pendekatan yang digunakan untuk menciptakan budaya perusahaan yang baik, baik bagi pihak internal (manajemen perusahaan), maupun bagi pihak eksternal (masyarakat dan lingkungan).

3. CSR Sebagai Paradigma Baru Perusahaan

WBCSD (The Word Business Council for Sustainable Development), sebuah lembaga internasional, mendefinisikan CSR sebagai “Continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large.” Dalam bahasa lain, maksudnya adalah suatu komitmen dunia usaha untuk terus menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas.

Konsep CSR ini menawarkan sebuah kesamaan, yaitu keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis dan perhatian terhadap aspek sosial serta lingkungan, dengan demikian pada tingkat implementasinya, CSR merupakan tanggung jawab perusahaan kepada para pemangku kepentingan untuk berlaku etis, meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif yang mencakup aspek ekonomi sosial dan lingkungan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan bekelanjutan (Wibisono, 2007: 8).

Makin tingginya tingkat kesadaran dan kualitas SDM di Indonesia saat ini tidak dapat disangkal bahwa kedepannya, akan membawa konsekuensi lanjut pada makin aware-nya mereka pada semua tingkah laku dan kebijakan setiap perusahaan yang ada, mereka akan dapat menilai dengan sendirinya kinerja perusahaan-perusahaan yang ada, dan tidak dapat lagi dibodohi dengan berbagai cara seperti yang selama ini dipakai oleh beberapa perusahaan yang ada, yang sebenarnya menjadi tameng pihak perusahaan saja dalam tujuannya mengendalikan masyarakat yang ada, dengan begitu maka perusahaan kemudian dapat melakukan semua kehendak mereka tanpa ada yang tahu dan juga kekhawatiran bahwasannya ada yang akan memprotes mereka.

Perusahaan dalam kaitan ini saat ini dapat dikatakan telah mengalami suatu perubahan yang lebih mengacu kearah kebersamaan sebagai suatu sistem yang saling berfungsi. Berkaitan dengan semakin menglobalnya kepentingan yang ada, sehingga masing-masing perusahaan akan berkompetensi untuk dapat terus eksis dalam usahanya, untuk itu strategi yang dilakukan adalah dengan menggalang keikutsertaan berbagai pihak dalam mata rantai usaha yang mereka jalankan (Budimanta, ed., 2004: 71-83).

Langkah perubahan konkrit yang terjadi kemudian adalah bahwa perusahaan semakin akrab dengan lingkungannya, komunitinya dan masyarakat yang ada dan tidak mengejar keuntungan semata, tetapi lebih cenderung kearah pemenuhan kecukupan keuntungan yang sebagian keuntungannya dialihkan dalam bentuk penanaman kepercayaan terhadap stakeholder lainnya di masyarakat lokal.

Prof. Alyson Warhurst dari University of Bath Inggris, mengajukan prinsip-prinsip dasar yang dapat digunakan sebagai acuan pelaksanaan CSR. Adapun beberapa prinsip tersebut adalah sebagai berikut (Wibisono, 2007: 39) :

1. Prioritas korporat

Mengakui tanggung jawab sosial sebagai prioritas tertinggi perusahaan dan penentu utama pembangunan berkelanjutan.

2. Manajemen terpadu

Mengintegrasikan kebijakan, program dan praktek ke dalam setiap kegiatan bisnis sebagai satu unsur manajemen dalam semua fungsi manajemen.

3. Proses perbaikan

Berkesinambungan memperbaiki kebijakan, program dan kinerja sosial perusahaan, berdasar pada temuan riset dan memahami kebutuhan sosial serta menerapkan kriteria sosial tersebut secara internasional.

4. Pendidikan Karyawan

Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan serta motivasi karyawan.

5. Pengkajian

Melakukan kajian dampak sosial sebelum memulai kegiatan atau proyek baru dan sebelum menutup satu fasilitas atau meninggalkan lokasi pabrik.

6. Produk dan Jasa

Mengembangkan produk dan jasa yang tak berdampak negatif secara sosial.

7. Informasi Publik

Memberi informasi dan mendidik pelanggan, distributor dan publik tentang penggunaan yang aman, transportasi, penyimpanan dan pembuangan produk, dan begitu pula dengan jasa.

8. Fasilitas dan Operasi

Mengembangkan, merancang dan mengoperasikan fasilitas serta menjalankan kegiatan yang mempertimbangkan temuan kajian dampak sosial.

9. Penelitian

Melakukan atau mendukung penelitian dampak sosial bahan baku, produk, proses, emisi dan limbah yang terkait dengan kegiatan usaha dan penelitian yang menjadi sarana untuk mengurangi dampak negatif.

10. Prinsip pencegahan

Memodifikasi manufaktur, pemasaran atau penggunaan produk dan jasa, sejalan dengan penelitian mutakhir, untuk mencegah dampak sosial yang bersifat negatif.

11. Kontraktor dan pemasok

Mendorong penggunaan prinsip-prinsip tanggung jawab sosial perusahaan yang dijalankan kalangan kontraktor dan pemasok.

12. Siaga menghadapi darurat

Menyusun dan merumuskan rencana menghadapi keadaan darurat, dan bila terjadi keadaan berbahaya bekerja sama dengan layanan gawat darurat, instansi berwenang dan komunitas lokal, sekaligus mengenali potensi bahaya yang muncul.

13. Transfer best practice

Berkontribusi pada pengembangan dan transfer praktik bisnis yang bertanggung jawab secara sosial pada semua industri dan sektor publik.

14. Memberi sumbangan

Sumbangan untuk usaha bersama, pengembangan kebijakan publik dan bisnis, lembaga pemerintah dan lintas departemen pemerintah serta lembaga pendidikan yang akan meningkatkan kesadaran tentang tanggung jawab sosial.

15. Keterbukaan

Menumbuhkembangkan keterbukaan dan dialog dengan pekerja dan publik, mengantisipasi dan memberi respons terhadap potencial hazard, dan dampak operasi, produk, limbah atau jasa.

16. Pencapaian pelaporan

Mengevaluasi kinerja sosial, melaksanakan audit sosial secara berkala dan mengkaji pencapaian berdasarkan kriteria perusahaan dan peraturan perundangan dan penyampaian informasi tersebut pada dewan direksi, pemegang saham, pekerja dan juga publik.

4. Prinsip-prinsip Dasar GCG (good corporate governance)

GCG adalah satu konsep yang menjelaskan tentang bagaimana tata kelola perusahaan yang baik dan benar. Isu ini kini menjadi panduan beberapa perusahaan kelas dunia dalam mengelola perusahaan-perusahaan raksasa mereka di semua lini sektor perusahaan tersebut. Konsep GCG ini muncul karena diawali dengan menggejalanya sikap perusahaan-perusahaan yang dalam keadaan bersaing ketat memperebutkan pasar demi mengejar keuntungan semaksimal mungkin, secara bersamaan pula, berbagai pelanggaran etika dan asas-asas etika umum atau kaidah dasar moral perusahaan-perusahaan tersebut kepada masyarakat dan lingkungan disekitarnya.

Berdasarkan hal tersebut, akhirnya muncullah GCG sebagai satu gerakan yang berfungsi untuk mengatur tata kelola perusahaan yang baik, agar perilaku para pelaku bisnis mempunyai arahan yang bisa dirujuk, dan tidak menjalankan bisnis perusahaan-perusahaan tersebut dengan tanpa pertanggungjawaban yang baik kepada semua pihak yang ada, karena memang yang menjadi acuan dalam menjalankan perusahaan adalah hanya pada pencapaian seberapa besar provit/keuntungan yang akan didapat perusahaan kedepannya dan selesai begitu saja.

Dalam implementasinya di lapangan, konsep GCG pada dasarnya mengandung beberapa prinsip dasar dan sekaligus dapat dijadikan sebagai pedoman/acuan bagi para pelaku bisnis. Beberapa prinsip tersebut adalah (Wibisono, 2007: 11-12):

  1. Transparency (keterbukaan informasi)

Secara sederhana dapat diartikan sebagai keterbukaan informasi. Dalam mewujudkan prinsip ini, perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang cukup, akurat, dan tepat waktu kepada segenap stakeholders-nya.

  1. Accountability (Akuntabilitas)

Yang dimaksud akuntabilitas adalah adanya kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban elemen perusahaan. Apabila prinsip ini diterapkan secara efektif, maka akan ada kejelasan akan fungsi, hak, kewajiban, dan wewenang serta tanggungjawab antara pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi.

  1. Responsibility (Pertanggungjawaban)

Bentuk pertanggungjawaban perusahaan adaah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya termasuk masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat dan sebagainya. Dengan menerapkan prinsip ini, diharapkan akan menyadarkan perusahaan bahwa dalam kegiatan operasionalnya, perusahaan juga mempunyai peran untuk bertanggungjawab selain kepada shareholder juga kepada stakeholders-lainnya.

  1. Independency (Kemandirian)

Prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara professional tanpa ada benturan kepentingan dan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku.

  1. Fairness (Kesetaraan dan Kewajaran)

Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak stakeholder sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Diharapkan fairness dapat menjadi faktor pendorong yang dapat memonitor dan memberikan jaminan perlakuan yang adil di antara beragam kepentingan dalam perusahaan.

Dari sejumlah prinsip diatas, dapat disimpulkan bahwa GCG dapat pula dipahami sebagai suatu sistem dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan, yaitu seluruh kepentingan stakeholders secara proporsional dan mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi perusahaan sekaligus juga memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki dengan segera.

Memahami prinsip-prinsip GCG diatas, sebenarnya akan dapat dilihat benang merah atau keterkaitan dan adanya hubungan antara GCG dengan CSR sendiri. Prinsip Responsibility merupakan prinsip yang mempunyai makna paling dekat dengan CSR. Dalam prinsip ini, penekanan yang signifikan diberikan kepada stakeholder perusahaan. Melalui penerapan prinsip ini juga, perusahaan diharapkan dapat menyadari bahwa dalam kegiatan operasionalnya seringkali menghasilkan dampak eksternal yang harus ditanggung oleh semua stakeholder, dan tidak hanya internal, tetapi juga semua stakeholder eksternal. Karena itu merupakan suatu tuntutan yang sangat wajar jika perusahaan juga harusnya memperhatikan kepentingan dan nilai tambah bagi stakeholders-nya.

5. CSR Sebagai Strategi Integrasi Antara Perusahaan dan Masyarakat

Keberadaan perusahaan ditengah-tengah masyarakat dapat mempengaruhi perkembangan masyarakat itu sendiri, baik secara sosial, budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Demikian sebaliknya, eksistensi perusahaan ditengah-tengah masyarakat juga bergantung dari penerimaan masyarakat setempat. Perusahaan membutuhkan masyarakat sebagai tempat memperoleh bahan baku sekaligus sebagai pasar bagi produknya. Masyarakat membutuhkan perusahaan sebagai penyedia barang ataupun jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat itu sendiri. Ilustrasi ini menunjukkan bahwa antara perusahaan dan masyarakat memiliki hubungan yang bersifat timbal balik. Oleh karena itu, antara perusahaan dan masyarakat harus tercipta suatu bentuk hubungan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme).

Pada kenyataannya, seringkali terjadi ketegangan antara perusahaan dan masyarakat. Keberadaan perusahaan berdampak negatif bagi kehidupan masyarakat. Peristiwa lumpur panas lapindo dan pencemaran di teluk Buyat adalah beberapa contoh dari dampak negatif yang diterima oleh masyarakat dengan adanya perusahaan ditengah-tengah lingkungan mereka. Contoh lain adalah pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh industri-industri di surabaya. Pembuangan limbah industri ke sungai berdampak pada kehidupan masyarakat. Akibat sungai yang telah tercemari limbah pabrik, maka kualitas air sumur masyarakat menjadi jelek. Hal ini membuat masyarakat sering terkena penyakit kulit bila mandi dengan air yang berasal dari sumur tersebut.

Sebagaimana penjelasan diatas menunjukkan bahwa adanya perusahaan semakin memarginalkan masyarakat. Tentunya hal ini tidak bisa dibiarkan terus menerus. Sebab akan memicu konflik antara perusahaan dan masyarakat. Ada sebuah konsep yang diyakini sebagai strategi untuk menciptakan hubungan yang baik antara perusahaan dan masyarakat. Konsep tersebut adalah CSR (corporate social responsibility) atau tanggung jawab sosial perusahaan. CSR adalah basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun hubungan yang harmonis dengan masyarakat disekitarnya.

Ada dua alasan mendasar mengapa CSR mempunyai peran strategis. Dari sudut internal (perusahaan) ada sejumlah alasan fundamental, yaitu (a) sejatinya perusahaan merupakan asset masyarakat karena eksistensi perusahaan bisa tergantung kepada masyarakat, (b) posisi perusahaan sesungguhnya merupakan salah satu stakeholder negara kerakyatan, (c) sehingga eksistensi sebuah bangsa dan negara bisa ditentukan oleh eksistensi perusahaannya, (d) perusahaan berbasis masyarakat merupakan kebutuhan perusahaan untuk tumbuh dan berkembang, (e) dukungan masyarakat merupakan jaminan eksistensi perusahaan, (f) saat ini dan untuk masa mendatang CSR merupakan ciri utama perusahaan modern (madani), (g) bagi perusahaan, CSR juga bisa merupakan alat pertahanan perusahaan, (h) bagi perusahaan, CSR bisa merupakan alat bargaining dengan stakeholder (masyarakat, kompetitor, pemerintah), (i) bagi perusahaan, CSR bukan sekadar alat politik praktis perusahaan, tetapi semestinya sebagai bagian dari strategi perusahaan itu sendiri, (j) bahkan bagi perusahaan, CSR bisa menjadi barometer kinerja sebuah perusahaan PR (public relation) yang murah, dan (k) lebih dari itu, kekuatan peran CSR terhadap masyarakat akan menyebabkan perusahaan disayang masyarakat sekaligus dicintai Tuhan.

Kedua, alasan eksternal (masyarakat): (1) Masyarakat merupakan stakeholder bagi perusahaan. Masyarakat merupakan resources utama bagi perusahaan. Masyarakat sebagai mesin bagi perusahaan karena dari masyarakatlah perusahaan memiliki tenaga kerja dan buruh. Masyarakat sebagai pelanggan dan konsumen utama perusahaan. Sehingga tanpa peran sosial perusahaan, masyarakat pun bisa menjadi sumber ancaman bagi perusahaan. Oleh karena itu mengelola masyarakat harus merupakan salah satu peran CSR. Dalam implementasinya masyarakat bukan semata-mata objek perusahaan, tetapi masyarakat pun merupakan subjek bagi perusahaan. (2) Kondisi laten masyarakat kita yang masih pekat diwarnai kemiskinan dan keterbelakangan, maraknya berbagai penyakit sosial masyarakat lainya seperti kriminalitas, pengangguran, pelacuran, mental inferior, tuna wisma, dan sejenisnya yang akan potensial menjadi ancaman masa depan bangsa. (3) Kondisi temporer masyarakat: seringnya masyarakat dilanda bencana alam dan konflik. Dampak bencana bisa menimbulkan berbagai penyakit sosial masyarakat, termasuk semakin maraknya kemiskinan. Oleh karena itu, penanganan bencana bisa menjadi salah satu peran strategis perusahaan melalui CSR, khususnya pada tahapan rehabilitasi dan rekontruksi.

CSR memiliki beberapa peran, baik bagi internal perusahaan maupun bagi masyarakat. Peran CSR bagi internal perusahaan antara lain sebagai penguatan citra perusahaan, penguatan dukungan masyarakat dan jaminan keamanan perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Rutie Agustina Lombogia (2005), menunjukkan bahwa dengan terwujudnya CSR selama ini, yang merupakan tanggungjawab yang diemban oleh akuntan manajemen telah memberikan dampak yang positif terhadap citra perusahaan. Pelaksanaan CSR diyakini dapat meredam konflik antara perusahaan dan masyarakat. Perusahaan yang tidak melakukan partisipasi terhadap kehidupan masyarakat, dapat memicu konflik. Penelitian yang dilakukan oleh Aswin Afandy, dkk (2007). Konflik Industrial (Studi Korelasi Partisipasi Perusahaan terhadap Munculnya Konflik dalam Masyarakat), mengemukakan bahwa konflik yang muncul dalam masyarakat disebabkan karena kurangnya partisipasi perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar perusahaan. Hal ini disebabkan adanya hubungan yang kuat antara perusahaan, masyarakat dan lingkungan sekitar sehingga dari ketiga elemen tersebut dibutuhkan adanya kerjasama yang baik demi mewujudkan keseimbangan antara ketiganya, jika keseimbangan ini dapat terjaga dan dipertahankan akan mendatangkan manfaat kepada semua pihak baik perusahaan, masyarakat maupun lingkungan. Tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. Semua akan dapat meraup keuntungan dari adanya keseimbangan kerjasama tersebut. Sedangkan peran CSR bagi masyarakat, antara lain, sebagai sarana pembelajaran masyarakat, kemandirian masyarakat dan kesejahteraan masyarakat. Hasil Survey “The Millenium Poll on CSR” (1999) yang dilakukan oleh Enuironics International (Toronto), Conference Board (New York) dan Prince of Wales Business Leader Forum (London) diantara 25.000 responden di 23 negara menunjukkan bahwa dalam membentuk opini tentang perusahaan, 60% mengatakan bahwa etika bisnis, praktek terhadap karyawan, dampak terhadap lingkungan, tangung jawab sosial perusahaan (CSR) akan paling berperan sedangkan bagi 40% citra perusahaan dan brand image yang akan paling mempengaruhi kesan mereka hanya 1/3 yang mendasari opininya atas faktor-faktor bisnis fundamental seperti faktor finansial, ukuran perusahaan, strategi perusahaan atau manajemen. Lebih lanjut, sikap konsumen terhadap perusahaan yang dinilai tidak melakukan CSR adalah ingin “menghukum” (40%) dan 50% tidak akan membeli produk dari perusahaan yang bersangkutan dan/ atau bicara kepada orang lain tentang kekurangan perusahaan tersebut.

Pejelasan diatas merupakan suatu bukti bahwa implementasi CSR berdampak langsung pada eksistensi perusahaan. Perusahaan akan menerima banyak benefits jika melakukan CSR nya, sebab pelaksanaan CSR dalam suatu perusahaan adalah suatu keniscayaan. Jika perusahaan dapat melaksanakan CSR dengan baik, dampak yang diterima perusahaan akan bersifat ganda. Selain dampat meningkatkan profit perusahaan, pelaksanaan CSR juga mampu mengurangi permasalahaan sosial, seperti keterbelakangan dan kemiskinan dalam suatu negara. Adaupun secara rinci manfaat pelaksanaan CSR bagi suatu perusahaan adalah :

1. Perusahaan akan memiliki citra positif dimata masyarakat dan semua stakeholder yang ada, hal tersebut secara tidak langsung dapat menciptakan modal-modal sosial yang akan menguntungkan semua pihak seperti : trust, realibility, quality, consistency, credibility, relationship dan transparency.

2. Meningkatkan investasi tanggungjawab sosial perusahaan. Yaitu kedepannya perusahaan akan memiliki akses bagi peningkatan profit perusahaan, sebab perusahaan akan memperoleh jaminan sosial dari masyarakat atas eksistensi perusahaan tersebut.

3. Pelaksanaan CSR dalam suatu perusahaan akan menjadi faktor penting dan penentu yang akan menjadi motivator dan penarik bagi calon pekerja yang berkualitas, maupun bagi pekerja yang telah dimiliki perusahaan.

4. Strategi CSR yang positif akan membantu terciptanya innovation, creativity, intelllectual capital dan learning, sebagai suatu nilai baru dalam perusahaan (good corporate culture ).

5. Manajemen resiko yang lebih baik bagi perusahaan akan dapat dilakukan dengan menggunakan analisis secara mendalam dengan adanya ikatan yang kuat antara perusahaan dan stakeholders eksternal.

6. CSR secara konsisten memberikan manfaat positif untuk membantu membangun dan menciptakan hubungan yang kuat dengan para pemegang pemerintahan, komunitas masyarakat dan juga stakeholder yang lain. Juga dapat menjadi suatu bentuk keputusan investasi yang tepat bagi perusahaan kedepannya, yaitu sebagai jaminan vital bagi keberlangsungan suatu perusahaan dan melakukan pencegahan dalam menghadapi masalah-masalah sulit yang mungkin saja terjadi.

7. Perusahaan dengan CSR yang baik dan benar akan dengan sendirinya menjadi pilihan utama bagi para consumer. Pelaksanaan CSR yang lebih baik dan maju adalah suatu tantangan yang akan mengikat setiap pelaku bisnis dalam era globalisasi seperti sekarang ini, sehingga menjadi suatu bentuk aturan bisnis tidak tertulis tetapi mutlak dilaksanakan.

8. Pelaksanaan CSR dalam suatu perusahaan merupakan tindakan yang sejalan dengan aturan organisasi internasional, seperti PBB dalam upayanya mengurangi kemiskinan dan keterbelakangan di seluruh negara, sehingga secara pararel akan dapat meningkatkan kemampuan perusahaan-perusahaan yang ada untuk mengatur dan menggunakan energi, teknologi dan management skill secara lebih baik dan seimbang.

6. Strategi Implementasi CSR di Perusahaan

CSR memang merupakan suatu konsep yang sangat luas dan tak terbatas. Tidak hanya berupa program-program yang ditujukan untuk memberdayakan dan membangun masyarakat saja, tetapi ada banyak lagi beberapa bentuk program lain yang dapat digolongkan sebagai bentuk implementasi CSR. Sebagaimana pendapat Gurvy Kavei, pakar manajemen yang menyatakan bahwa CSR dapat diimplementasikan di tiga area. Pertama, di tempat kerja. Implementasinya mencakup aspek : kesehatan dan keselamatan kerja, pengembangan knowledge dan skill karyawan, peningkatan kesejahteraan dan bahkan kepemilikan saham. Kedua, di komunitas. Implementasinya bisa berupa kontribusi dalam bentuk charity, philanthropy maupun community development. Ketiga, terhadap lingkungan. Bisa berupa proses produksi dan produk yang ramah lingkungan, ikut serta dalam upaya pelestarian lingkungan hidup, dan lain sebagainya.

Secara lebih rinci, proses pelaksanaan CSR dalam suatu perusahaan akan selalu lebih dulu melewati beberapa tahapan berikut ini (Wibisono, 2007: 125-131) :

  1. Tahap Perencanaan

Dalam tahap ini ada tiga langkah utama yang harus dilakukan, yaitu awareness building, CSR assessement, dan CSR manual building. Melalui awareness, perusahaan akan mulai melakukan langkah awal untuk membangun kesadaran mengenai arti penting CSR dan komitmen manajemen. Selanjutnya adalah melakukan pemetaan terhadap kondisi perusahaan dan mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu mendapatkan prioritas perhatian dan langkah-langkah yang tepat untuk membangun struktur perusahaan yang kondusif bagi penerapan CSR secara efektif. Langkah selanjutnya adalah membangun CSR manual atau semacam pedoman implementasi CSR, pedoman ini diharapkan mampu memberikan kejelasan dan keseragaman pola pikir dan tindak seluruh elemen perusahaan guna tercapainya pelaksanaan program yang terpadu, efektif dan efisien.

  1. Tahap Implementasi

Tahap implementasi sendiri terdiri atas tiga langkah utama yakni, sosialisasi, pelaksanaan, dan internalisasi. Sosialisasi diperlukan untuk memperkenalkan kepada komponen perusahaan yang ada mengenai berbagai aspek yang terkait dengan implementasi CSR khususnya mengenai pedoman penerapan CSR sendiri. Sedangkan internalisasi sendiri adalah tahap jangka panjang, mancakup upaya untuk memperkenalkan CSR di dalam seluruh proses bisnis perusahaan, bisa melalui sistem manajemen kinerja, prosedur pengadaan, proses produksi, pemasaran dan proses bisnis lainnya.

  1. Tahap Evaluasi

Setelah program CSR diimplementasikan, langkah berikutnya adalah evaluasi program, yang harus dilakukan secara kontinue dan konsisten untuk mengukur sejauh mana efektifitas penerapan CSR.

  1. Pelaporan

Pelaporan dilakukan dalam rangka membangun sistem informasi yang baik untuk keperluan proses pengambilan keputusan maupun keperluan keterbukaan informasi material dan relevan mengenai perusahaan.

Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwasanya secara garis besar, CSR memiliki dua dimensi dalam implementasinya. Yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal. Dimensi internal mencakup bagaimana pihak perusahaan berupaya mengatur sumber daya manusia, termasuk kesehatan dan keselamatan semua pekerja, serta beradaptasi dengan, semua perubahan yang ada. Contohnya bidang CSR untuk pihak pekerja dan karyawan perusahaan, program konkrit CSR yang bisa dilakukan oleh perusahaan adalah memberlakukan keberagaman di tempat kerja (khususnya dalam manajemen), keseimbangan kerja (waktu yang fleksibel), pengadaan pelatihan untuk kemajuan karir dan sebagainya, pengikursertaan karyawan dalam pengambilan keputusan, saluran komunikasi yang terbuka antara karyawan dan manajemen, dan bisa juga melalui program bantuan karyawan/insentif. Sedangkan dimensi eksternal mencakup komunitas lokal, mitra usaha, pemasok dan konsumen, hak asasi manusia, dan kepedulian terhadap lingkungan hidup minimal dimana perusahaan tersebut berada.

Implementasi CSR dalam dimensi internal inilah yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai salah satu strategi dalam menciptakan budaya perusahaan yang baik (good corporate culture). Dengan strategi ini, maka mau tidak mau perusahaan harus menyiapkan suatu mekanisme kelembagaan yang solid dan bagus terhadap semua pekerja dan karyawan yang ada. Berdasarkan prinsip CSR yang menghargai hak asasi manusia dan kepentingan semua pihak yang ada, termasuk dalam hal ini hak karyawan perusahaan untuk mendapatkan berbagai jaminan seperti kesehatan dan keselamatan mereka, maka secara tidak langsung semuanya adalah awal untuk memupuk nilai dalam diri para pekerja dan karyawan akan pentingnya menghargai orang lain dan akan membudaya dalam setiap tindakan dan keputusan semua pihak yang ada dalam perusahaan, yaitu saling menghormati dan menghargai hak orang lain tanpa kecuali, sehingga terciptalah good corporate goverment dengan melalui isu CSR ini.

Pada akhirnya ketika pembentukan mekanisme kelembagaan dan manajemen internal perusahaan yang baik dan benar dapat terlaksana, maka inilah yang akan dapat dijadikan sebagai instrumen perusahaan untuk menciptakan kelembagaan keluar yang baik dan memanajemen dinamika perubahan yang terjadi di luar perusahaan. Inilah yang dimaksud sebagai penciptaan budaya perusahaan yang sesungguhnya, yaitu proses internalisasi suatu nilai CSR dalam setiap sendi proses bisnis perusahaan yang tidak hanya sekedar nilai yang diusung menjadi jargon dan visi perusahaan, tetapi lebih dari itu dengan nilai dan prinsip CSR ini, nilai-nilai tersebut juga berhasil diterapkan dan diikuti serta menjadi acuan oleh setiap unsur yang ada dalam perusahaan untuk melakukan setiap tindakan dan membuat setiap keputusan dalam usaha bisnisnya.

Ketika basis kekuatan dasar ini telah baik dan seimbang bagi pihak internal perusahaan, maka secara alami perusahaan akan mendapatkan pengakuan dan cap yang baik dari pihak eksternal, diantaranya dimata masyarakat. Jadi sebenarnya awal dari terciptanya semuanya ini adalah sangat tergantung pada pembawaan suatu perusahaan yang ada terhadap baik pihak internal maupun eksternal perusahaan.

Manfaat lain dari pelaksanaan CSR ini secara tidak langsung akan mendatangkan keuntungan bagi perusahaan itu sendiri. Perusahaan yang telah mengimplementasikan CSR akan memperoleh simpati dari masyarakat melalui pembangunan image positif bagi perusahaan yang pada akhirnya akan meningkatkan profit.

Hal ini diperkuat dengan adanya hasil survey yang dilakukan oleh Environic International (Toronto), Conference Board (New York) dan Princes of Wales Busines Leader Forum (London), dimana dari 25.000 responden di 23 negara menunjukkan bahwa dalam membentuk opini perusahaan, 60 % mengatakan bahwa etika bisnis, praktek terhadap karyawan, dampak terhadap lingkungan, tanggung jawab perusahaan paling berperan, sedangkan 40 % menyatakan citra perusahaan dan brand image yang paling mempengaruhi mereka. Lebih lanjut lagi, sikap konsumen terhadap perusahaan yang dinilai tidak melakukan CSR adalah mereka ingin menghukum dan 50 5 tidak akan membeli produk dari perusahaan yang tidak melakukan program CSR dan/atau bicara pada orang lain tentang kekurangan dari perusahaan tersebut.

Survey lain yang memperkuat CSR sebagai sebuah investasi yang menguntungkan perusahaan adalah survey yang dilakukan oleh majalah SWA. Pada tahun 2005, majalah SWA melakukan survey terhadap 45 perusahaan yang ada di Indonesia tentang manfaat yang diperoleh perusahaan bila melaksanakan kegiatan CSR. Hasil survey menunjukkan bahwa CSR bermanfaat memelihara dan meningkatkan citra perusahaan (37,38%), membina hubungan yang baik dengan masyarakat (16,82%), mendukung operasional perusahaan (10,28%), sarana aktualisasi perusahaan dan karyawannya (8,88%), memperoleh bahan baku dan alat-alat untuk produksi perusahaan (7,48%), mengurangi gangguan masyarakat pada operasional perusahaan (5,61%) dan lainnya (13,55%).

7. Penutup.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, terbukti bahwa implementasi CSR sangat bermanfaat bagi kelangsungan sebuah perusahaan. Eksistensi perusahaan bergantung pada bagaimana sebuah perusahaan mengimplementasikan program CSR nya. Dua dimensi yang dimiliki oleh CSR merupakan sebuah hal yang saling berkaitan dalam menjaga eksistensi sebuah perusahaan. Oleh karena itu sudah seharusnya bila perusahaan dalam menjalankan program CSR nya tidak sekedar bersifat sesaat, dalam artian perusahaan baru akan melaksanakan CSR jika ada tuntutan dari lingkungan eksternal. CSR juga tidak hanya dimaknai sebagai sebuah kegiatan yang bersifat sukarela, karena hal ini akan membuat perusahaan tidak total dalam menjalankan CSR nya sebab makna sukarela sangat tergantung pada keikhlasan. Perusahaan perlu memaknai CSR sebagai sebuah tanggungjawab yang wajib untuk dilaksanakan. Dengan demikian perusahaan akan melaksanakan CSR secara secara sungguh-sungguh dan bersifat berkesinambungan.

Pelaksanaan CSR sebagai sebuah kewajiban bagi perusahaan didasari oleh beberapa hal. Pertama, berbagai macam permasalahan sosial seperti pengangguran dan kemiskinan yang semakin merajalela, membuat perusahaan berperan serta dalam mengatasi berbagai persoalan tersebut. Kedua, lingkungan dimana perusahaan berada semakin hari akan semakin usang. Oleh karena itu perusahaan berkewajiban untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat rehabilitasi bagi lingkungan disekitarnya. Ketiga, adanya hubungan yang tak terpisahkan antara perusahaaan dan masyrakat (koeksistensi industri). Hal ini telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa eksistesi perusahaan sangat tergantung pada penerimaan masyarakat disekitarnya. Masyarakat adalah tempat dimana perusahaan mendapatkan bahan baku, tenaga kerja dan pasar bagi produknya. Begitu juga sebaliknya, perkembangan suatu masyarakat juga bergantung pada keberadaan perusahaan disekitarnya. Adanya perusahaan membuat masyarakat mampu mencukupi kebutuhan hidupnya (ketersediaan barang dan jasa) dan tempat dimana masyarakat memperoleh kebutuhan ekonominya (penciptaan lapangan pekerjaan). Keempat, banyaknya dampak positif yang diterima perusahaan bila melaksanakan kegiatan CSR.

CSR yang dimaknai sebagai sebuah tanggungjawab akan dapat dilaksanakan secara berkesinambungan yang pada akhirnya akan menjadi nilai dalam sebuah perusahaan. Pelaksanaan CSR adalah sebuah kegiatan kolektif bagi setiap elemen perusahaan. Artinya dalam melaksanakan program CSR diperlukan kerjasama dari beberapa pihak (manajemen, shareholder, karyawan dan lain sebagainya). Bila pelaksanaan CSR sudah menjadi nilai-nilai yang dianut oleh perusahaan dan dilaksanakan secara kolektif, maka disinilah CSR dapat dikatakan sebagai corporate culture (budaya perusahaan).

Budaya perusahaan merupakan sebuah fokus bagi setiap perusahaan dalam menjalankan kegiatan operasionalnya setiap hari dan dalam menentukan perencanaan strategisnya. Pelaksanaan CSR yang telah menjadi sebuah budaya perusahaan akan menjadi sebuah strategi bisnis bagi perusahaan itu sendiri. CSR yang dilakukan tidak hanya sebagai alat pengaman semata, maksudnya syarat agar dapat beroperasi dengan aman akan menjadi sebuah investasi sosial jangka panjang bagi perusahaan.

Bila sebuah perusahaan yang hidup ditengah-tengah masyarakat tidak membangun jaringan sosial dengan masyarakatnya, maka hal yang akan terjadi adalah eksklusifitas yang nantinya dapat menjadi sumber konflik antara perusahaan dan masyarakat. Adanya konflik tersebut tentu akan merugukan perusahaan, sebab kegiatan operasional perusahaan menjadi terganggu. Oleh sebab itu selain melakukan investasi bisnis sebuah perusahaan juga perlu melakukan investasi sosial yang dapat menciptakan hubungan yang harmonis antara perusahaan da masyarakat. Investasi sosial tersebut dilakukan melalui program CSR.

Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk melakukan program CSR perusahaan perlu mengeluarkan banyak biaya. Namun seyogyanya biaya yang dikeluarkan perusahaan dalam menjalankan program CSR nya tidak dimaknai sebagai sebuah cost yang bersifat sia-sia, tetapi merupakan sebuah bentuk investasi yang memberikan keuntungan bagi perusahaan di masa yang akan datang.

Berdasarkan hal tersebut maka sudah selayaknya bila perusahaan menjadikan program CSR nya sebagai nilai yang dipegang dalam menjalankan kegiatan operasionalnya, sehingga pada akhirnya CSR dapat menjadi investasi sosial yang sangat menguntungkan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, jika program CSR telah menjadi nilai bersama yang dianut dan dilaksanakan secara kolektif oleh setiap bagian perusahaan, maka program CSR tersebut telah menjadi sebuah budaya perusahaan (corporate culture).

Pada akhirnya tulisan ini menyimpulkan bahwa penerapan program CSR dalam sebuah perusahaan merupakan salah satu bentuk strategi implementasi dari konsep GCG (Good Corporate Governance). Perusahaan sebagai sebuah entitas bisnis haruslah memiliki budaya perusahaan yang mengutamakan prinsip-prinsip CSR sebagaimana yang terdapat dalam konsep GCG itu sendiri, diantaranya bertanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan disekitarnya. Hal ini pada akhirnya akan mendatangkan image yang positif bagi perusahaan dimata masyarakat yang ada disekitarnya, dengan adanya nilai budaya perusahaan yang menjunjung prinsip-prinsip CSR tersebut.

Daftar Pustaka

Budimanta, Arif. 2008. Corporate Social Responsibility; Alternatif Bagi Pembangunan Indonesia. Jakarta: ICSD.

-----------, 2003. Metode dan Teknik Pengelolaan Community Development. Jakarta: ICSD.

Cotler, dan Nancy Lee, 2005, Corporate Social Responsibility (Doing The Most Good For Your Company & Your Cause), USA: John Wiley & Sons, Inc.

Nugraha, dkk., Ed., 2005, Investasi Sosial, Jakarta: Puspendos.

Suharto, Edi. Ph.D. 2007. Pekerjaan Soisal di Dunia Industri Memperkuat Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Bandung: Refika Adi Tama.

-------------, 2005, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: Refika Aditama.

Untung, Budi Hendrik, Dr. 2008. Corporate Social Responsibility. Jakarta: Sinar Grafika.

Wahyudi, dan Busyra azhari, 2008, Corporate Social Responsibility (Prinsip, Pengatuan dan Implementasi), Malang: In-Trans Publishing.

Wibisono, Yusuf. 2007. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR. Gresik: Fascha Publishing.