IMPLEMENTASI CORPORATE SOSIAL RESPONSIBILITIES (CSR)
DALAM ERA MODERNISASI DAN GLOBALISASI
Anis Ulfiyatin, S.Sos
Abstrak:
Globalisasi yang melanda dunia pada saat sekarang ini pada dasarnya merupakan suatu pertumbuhan aktivitas manusia dari lingkup kecil menuju kearah lingkup yang lebih besar yang dirasa dalam lingkup kecil sudah tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan hidupnya dan berusaha mencapai kemuniti lain, wilayah lain. Dunia pada masa sekarang sedang dalam proses ‘menyatu’, mulai munculnya usaha-usaha yang secara cepat mengarah ke globalisasi dalam berbagai bidang. Khususnya dibidang ekonomi, dan ini mendorong munculnya persaingan antar bangsa dan Negara. Banyak korporasi raksasa dari luar selanjutnya dikenal dengan multi-national corporations yang menguasai sistem perekonomian dunia dan sekaligus mengkerdilkan Negara-negara lain yang lebih lemah, termasuk di Indonesia. Kegagalan pembangunan yang ada menunjukkan kegagalan pula dari paradigma teori modernisasi yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi yang selanjutnya disalahgunakan oleh kekuasaan demi kepentingannya. Muncul alternative paradigma pembangunan yang lain, yaitu paradigma pembangunan berkelanjutan dengan CSR sebagai tag-line nya, yang berupaya untuk secara bersama-sama mensinergikan antara pertumbuhan ekonomi dengan tidak mengesampingkan MNC yang ada, tetapi juga memperjhatikan kebutuhan untuk keberlanjutan baik dibidang lingkungan, ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan sosial manusia.
Kata kunci: Globalisasi ekonomi, CSR.
1. Pendahuluan
Konsep tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate sosial responsibility (CSR) yang dikemukakan H. R. Bowen (1953), muncul sebagai akibat karakter perusahaan yang mencari keuntungan tanpa memerdulikan kesejahteraan karyawan, masyarakat, dan lingkungan. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang disahkan 20 Juli 2007 menandai babak baru pengaturan CSR di negeri ini. Di Indonesia, praktik CSR belum menjadi perilaku umum, karena banyak perusahaan yang menganggap sebagai cost center. Namun, di era informasi dan teknologi serta desakan globalisasi, tuntutan menjalankan CSR semakin besar. Selain itu, pelaksanaan CSR merupakan bagian dari good corporate governance (GCG), yakni fairness, transparan, akuntabilitas, dan responsibilitas, termasuk tanggung jawab terhadap lingkungan fisik dan sosial, yang mestinya didorong melalui pendekatan etika pelaku ekonomi.
Oleh karena itu, di dalam praktik, penerapan CSR selalu disesuaikan dengan kemampuan perusahaan dan kebutuhan masyarakat. Idealnya terlebih dahulu dirumuskan bersama tiga pilar yakni dunia usaha, pemerintah, dan masyarakat, dan kemudian dilaksanakan sendiri oleh perusahaan. Pengusaha seharusnya menjalankan bisnis tidak semata untuk profitability melainkan lebih dari itu, sustainability. Pemikiran yang mendasari CSR yang sering dianggap inti dari etika bisnis adalah bahwa perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban ekonomis dan legal kepada shareholder tapi juga kewajiban terhadap stakeholder. Kemitraan antara korporasi dan stakeholder menjadi keharusan dalam lingkungan bisnis. Dengan demikian, bisnis akan mengutamakan hal-hal yang berkaitan dengan membangun kemitraan bersama perusahaan, pemerintah, dan masyarakat sipil, untuk menyatakan bahwa pasar dapat membantu masyarakat terhadap kesinambungan hidup mereka.
Program kemitraan yang sukses dimulai dari komitmen yang kuat dari pimpinan perusahaan untuk mengubah paradigmaa konvensional (self-interest) ke paradigmaa baru (enlightened common interests). Reward yang diperoleh perusahaan dari pola kemitraan ini antara lain (i) program lebih tepat sasaran dan terorganisasi, (ii) merek produk perusahaan semakin diapresiasi oleh pelanggan terutama dalam membentuk loyalitas, (iii) dan pada akhirnya, perusahaan akan mendapatkan reputasi yang diharapkan. Peran pemerintah sebagai penjamin keamanan dan penegak hukum serta menciptakan iklim.
Bisnis yang kondusif sangat menentukan keberlanjutan hidup perusahaan. Pemerintah juga dituntut melakukan intervensi pasar melalui pajak, subsidi untuk mendorong penggunaan renewable resources, pengembangan eco-efficiency serta kebijakan distribusi resources yang mengindahkan equity. Masyarakat juga berperan sebagai penghubung antara pemerintah dan perusahaan. Masyarakat diharapkan aktif dan mengoreksi dampak pembangunan, menyampaikan aspirasi publik dan dinamisator keberdayaan publik. Upaya perusahaan menerapkan CSR memerlukan sinergi dari pemerintah dan masyarakat. Pemerintah sebagai regulator diharapkan dapat menumbuhkembangkan CSR tanpa membebani perusahaan. Peran masyarakat juga diperlukan dalam upaya perusahaan memperoleh rasa aman dan kelancaran dalam berusaha.
Salah satu bentuk aktualisasi CSR adalah community development dengan programnya yang didedikasikan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, masalah pekerjaan, peningkatan pendidikan, kesehatan masyarakat, penguatan kelembagaan lokal serta tersedianya basic infrastruktur yang memadai. Di dalam keterbatasan sumber daya, sering kali pemerintah mengalami kebuntuan mencari solusi terhadap masalah masyarakat, antara lain kesenjangan ekonomi yang semakin lebar, kemiskinan, pengangguran, pendidikan, anak jalanan, dan masalah sosial lainnya. Meskipun tanggung jawab utama berada pada pemerintah, namun hal ini juga tanggung jawab semua pihak sebagai anggota masyarakat. Upaya yang dapat dilakukan adalah memetakan masalah dan kebutuhan masyarakat secara komprehensif berikut solusinya.
Beberapa projek strategis yang tanggung jawab utamanya berada pada pemerintah, tentu dapat dibiayai oleh APBD, selebihnya bisa melibatkan dunia usaha dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk bersama-sama mengatasi secara tuntas. Pemerintah dapat mengambil peran penting di tengah situasi hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan kemiskinan, pengangguran, pendidikan, anak jalanan, dan masalah sosial lainnya, pemerintah harus berperan sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR dengan menetapkan bidang penanganan yang menjadi fokus, dengan masukan pihak yang kompeten. Pemerintah dan perusahaan dituntut membuat mekanisme komunikasi dengan banyak pihak dan memperhatikan kepentingan mereka. Setelah itu, pemerintah dapat memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan pada kalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya ini. Pemerintah juga dapat mengawasi proses interaksi antara pelaku bisnis dan kelompok-kelompok lain agar terjadi proses interaksi yang lebih adil dan menghindarkan proses manipulasi satu pihak terhadap yang lain. Melalui peran pemerintah, perusahaan diharapkan lebih bertanggung jawab memberikan kontribusi yang bermakna bagi kesejahteraan masyarakat, perekonomian nasional, serta dasar-dasar pendidikan sosial dan lingkungan.
Corporate sosial responsibility atau CSR ini telah menjadi cerita menarik untuk diperagakan oleh banyak pihak. Sebagian dari perusahaan besar di Indonesia malah telah memperopagandakan kepatuhan mereka terhadap implementasi CSR. Dan banyak sekali seminar dan training tentang corporate sosial responsibility diselenggarakan oleh masyarakat korporasi Indonesia. CSR adalah sebuah gaung dari negara-negara besar ekonomi dunia, seperti Eropa dan Amerika Serikat. Dan seperti biasanya, gaung tersebut langsung akan membuat semua masyarakat korporasi Indonesia menjadi terpesona dengan seribu kekagumannya. Walaupun semua ini seperti sebuah musim saja, begitu trend CSR redup, maka semua orang akan melupakannya. CSR adalah sebuah niat baik yang perlu segera kita berikan respon positif.
2. Globalisasi Perusahaan-perusahaan Multinasional (MNC)
Pada dasarnya semua proses pengintergrasian ekonomi nasional menjadi ekonomi global (globalisasi) merupakan harapan dan hasil perjuangan dari perusahaan-perusahaan multinasional karena pada dasarnya merekalah yang paling diuntungkan dari proses tersebut. Selama dua dasawarsa menjelang berakhirnya abad millennium, perusahaan-perusahaan multinasional berskala raksasa tersebut (TNCs dan MNCs) meningkat jumlahnya secara pesa. Selain jumlahnya meningkat, MNC juga dapat menguasasi perekonomian dunia. Kekuatan ekonomi MNC yang luar biasa tersebut akan semakin bertambah jika globalisasi berjalan.
Merekalah yang paling berkepentingan melalui mekanisme globalisasi sistem produksi, investasi dan pasar yang mengatur mekanisme dari semua sistem produksi dan pasar tersebut ditentukan oleh WTO. Hal ini berarti bahwa segala yang melalui proses dan mekanisme globalisasi juga merupakan perebutan kekuasaan ekonomi dan kekuasaan Negara-negara kepada MNC.
Dari penjelasan di atas, sebenarnya telah dapat dikonstruksi suatu konsep, mekanisme, maupun anatomi dari globalisasi. Globalisasi sebagai proses pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam sistem ekonomi dunia pada dasarnya diperankan oleh aktor-aktor utama proses tersebut. Ada tiga aktor utama, pertama, adalah MNC, yakni perusahaan multinasional yang besar yang dengan dukungan Negara-negara yang diuntungkan oleh MNC tersebut membentuk dewan perserikatan perdagangan global yang dikenal dengan WTO yang sekaligus menjadi aktor kedua. Ketiga, adalah lembaga keuangan global seperti IMF, dan Bank Dunia. Kewenangan lain yang mereka miliki adalah mampu mendesak dan mempengaruhi serta memaksa Negara-negara melakukan penyesuaian kebijakan nasionalnya bagi kelancaran proses pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi global.
Sistem kerja demikian tersebut sebenarnya dilandaskan pada suatu ideology yang dikenal dengan neo-liberalisme. Dimana para penganut neo liberalism ini percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai sebagai hasil normal dari kompetisi bebas. Kompetisi yang agresif adalah akibat dari kepercayaan bahwa pasar bebas adalah cara yang efisien dan tepat untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Dalam proses selanjutnya, persoalan yang muncul kemudian adalah adanya perebutan sumber daya alam, yang merupakan faktor ekonomi yang bersifat tidak dapat diperbaharui dan menjadi ancaman global jika saja pada akhirnya habis. Semakin diperparah dengan tingkah laku yang dilakukan oleh para perusahaan raksasa tersebut, yaitu dilakukannya proses ekonomi dan industrialisasi dengan tidak memperhatikan pada pelestarian lingkungan dan sumber daya alam yang telah dirusaknya. Para perusahaan tersebut cenderung abai atas dampak yang mereka lakukan terhadap lingkungan, dan celakanya akibat dari kebijakan sistem produksi global tersebut, yang menjadi korban dari dampak kelalaian atas lingkungan dari proses produksi tersebut, tidak hanya Negara mereka sendiri. Tetapi juga Negara lain, dan inilah yang paling banyak terjadi sebagaimana yang saat ini telah banyak terjadi di Indonesia.
Dimana banyak perusahaan multi nasional dari luar negeri yang melancarkan penetrasi pasar dan melakukan investasi modal serta menjalankan proses produksi dan industrialisasi mereka di Negara lain, sebagaimana yang terjadi di Indonesia saat ini. Tidak terhitung lagi berapa banyak jenis perusahaan multi nasional dan perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di Indonesia, dan sekaligus melakukan pengerukan atas sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesia ini. Mulai dari sumber daya bahan bakar fosil, tambang, emas, dan lain sebagainya. Dan sudah tak terhitung pula berapa banyak kasus kerusakan dan bencana alam yang diakibatkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut di Negara kita ini, dan lagi-lagi tentu saja warga Negara Indonesia sendiri yang harus menanggung semua itu, belum dengan kerusakan alam yang diakibatkan oleh kesemua proses produksi tersebut.
Masih segar dalam ingatan kita tentang bencana lumpur di daerah Porong Sidoarjo, berapa banyak orang yang dirugikan dari bencana tersebut. Yang diakibatkan oleh lalainya perusahaan raksasa yang ada dalam mengambil dan menguras kekayaan alam kita. Sebelumnya, ada juga bencana habisnya gunung-gunung dan hilangnya kelestarian alam yang tidak akan dapat kembali selama bertahun-tahun kedepan akibat fatalnya kerusakan yang ditimbulkan oleh proses produksi dari perusahaan multi nasional tersebut, yaitu pada lokasi penambangan yang ada di Papua (PT. Freeport). Begitu juga dengan yang terjadi di wilayah Bojonegoro, konflik antara Negara pasar dan perusahaan yang berkepanjangan akibat tidak adilnya perilaku yang dilakukan oleh pihak Exxon Mobil kepada warga sekitar lokasi pengeboran minyak bumi tersebut, terdengar cukup akrab di telinga kita memang. Tragisnya, kesemuanya ada di depan mata kita sendiri, dan di dalam Negara kita sendiri pula. Tetapi selama ini Negara cenderung menjadi penonton saja, tidak ada tindakan tegas dari adanya bencana dan dampak sosial dan alam yang diakibatkan oleh perusahaan-perusahaan raksasa tersebut.
Proses pembangunan yang dikejar hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi saja, dan selama semuanya menguntungkan beberapa orang, maka tidak aka nada tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Tanggung jawab perusahaan hanya sampai pada dipatuhinya kesepakatan yang dibuat sebelumnya, tanpa ada pengontrolan dan pengendalian yang dilakukan selama proses ekspolitasi dan proses produksi tersebut berlangsung. Negara cenderung pasrah dan tidak memiliki kewenangan sama sekali, karena logika berpikir mereka mengatakan, kesemuanya merupakan konsekuensi nyata dari adanya sistem global ini sendiri.
3. Kedaulatan dalam Tekanan Globalisasi
Secara umum, konsep tentang kedaulatan ini dibagi menjadi dua, yaitu kedaulatan dalam arti positif dan kedaulatan yang negative. Kedaulatan dalam arti yang negative adalah hak dasar dari sebuah Negara untuk meminta aktor international lain untuk tidak melakukan intervensi terhadap Negara tersebut. Baik intervensi dalam bidang ekonomi, politik, maupun militer dan lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan kedaulatan positif adalah kemampuan dari sebuah Negara untuk melakukan control efektif dalam wilayah negaranya. Dalam kedaulatan positif sebuah Negara melakukan kewajibannya yang bersifat otoritatif ke dalam setiap aspek kehidupan dari masyarkatnya dan wilayah yurisdiksinya. Negara dalam hal ini melakukan pemerintahan yang stabil, melakukan perlindungan terhadap warga negaranya dan setiap jengkal wilayahnya. Hal ini sekaligus menjasi syarat dari eksistensi sebuah Negara.
Sedangkan globalisasi di sisi yang lain sering diartikan secara berbeda-beda oleh banyak pihak, dimana pada intinya kesemuanya memperlihatkan suatu proses pengintegrasian seluruh belahan dunia kedalam sebuah sistem ekonomi yang berwujud global market economy, sistem politik yang berwujud cosmopolitan democracy, sistem budaya yang seringkali dikejawantahkan dalam perwujudannya dengan budaya pop atau pop culture, serta sistem sosial yang berwujud adanya open civil society.
Dalam buku yang lain dijelaskan bahwa terdapat empat cirri dasar dari konsep globalisasi ini, yaitu :
a) Meluasnya hubungan sosial (stretched sosial relations): hal ini mengacu pada munculnya saling keterhubungan antara jaringan sosial-budaya, ekonomi dan politik di masyarakat yang melintasi batas Negara-bangsa;
b) Meningkatnya intensitas komunikasi (intensification of flaws): berkaitan dnegan makin meningkatnya intensitas hubungan antar aktor dengan munculnya perkembangan ilmu dan teknologi;
c) Meningkatnya interpenetrasi (increasing interpenetration): interpenetrasi yang terjadi di hampir segala bidang mengakibatkan budaya dan masyarakat yang berada pada wilayah berbeda akan saling berhadapan pada level local dan international.
d) Munculnya infrastruktur global (global infrastucture): pengaturan institusional yang bersifat formal dan informal yang diperlukan agar jaringan global bekerja.
Globalisasi memberikan dinamika yang penting bagi kedaulatan sebagai sebuah konsep maupun dalam aplikasinya di politik global. Terbukanya akses komunikasi beserta kecepatannya, perpindahan melalui alat transportasi, munculnya jaringan-jaringan sosial, ekonomi-politik baru yang melintasi batas Negara mengurangi makna dan kapasitas Negara sebagai pemegang ototitas penuh. Dan beberapa tantangan yang muncul dari era globalisasi ini antara lain sebagai berikut :
a) Kekuatan pasar global. Kekuatan pasar global sangat mudah melakukan penetrasi terhadap suatu Negara dan memberikan efek besar bagi ekonomi nasional Negara tersebut. Kekuatan yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan dunia atau MNC misalnya, merupakan ancaman tersendiri bagi Negara-negara kecil lainnya. Pasar global dikuasai dan dalam genggaman mereka semua. Dan kesemua isu tersebut akan mempengaruhi Negara manapun dengan mudah dan memberikan dampak yang besar bagi otoritas pemerintahan Negara tersebut.
b) Perkembangan norma internasional seperti hak asasi manusia dan hokum kemanusiaan. Dasar dari hak asasi manusia bersifat universal dan menempatkan manusia sebagai aktor yang universal dan mempunyai hak-hak yang harus dilindungi oleh semua aktor international, termasuk Negara. Akan tetapi keterlibatan aktor internasional lainnya dalam mengaplikasikan perlindungan terhadap hak asasi manusia memberikan tantangan besar terhadap prinsip non-intervensi yang melekat dalam konsep kedaulatan sebagaimana yang dijelaskan di atas.
c) Kontrol terhadap ketertiban dan keamanan. Negara tidak lagi mempunyai control mutlak terhadap keamanan Negara dan warga negaranya. Di Negara maju warga Negara mempunyai pilihan untuk masalah keamanan pribadi mereka, selain dari pada yang disediakan Negara. Dalam kasus yang lain, di negara-negara lemah dan sedang berkembang, Negara sulit untuk bisa mempunyai otoritas keamanan mutlah terhadap semua teritorinya.
Tantangan tersebut memunculkan pertanyaan yang menyangsikan efektifitas dan otoritas Negara. Apabila Negara memiliki otoritas dan control penuh dalam wilayah negaranya, mengapa kemudian Negara menjadi lemah ketika dihadapkan dengan tantangan di atas. Terdapat dua ekstrem dalam melihat dampak globalisasi terhadap kedaulatan ini.
Pada ekstrem kanan, terdapat golongan yang menyatakan peran dan otoritas Negara yang berkurang dengan berbagai istilah seperti the diminished nation-state, the decline of nation-state, atau bahkan matinya Negara. Pada intinya mereka menyatakan Negara tidak dapat mempunyai otoritas penuh lagi dalam wilayah otoritasnya. Lebih jauh, dinyatakan bahwa dalam global society Negara tidak akan punya peran signifikan lagi.
Sedangkan pada ekstrem kiri, adalah golongan tradisionalis yang melihat masalah-masalah tersebut hanya dibesar-besarkan, bahwa Negara menghadapi permasalahan itu benar. Akan tetapi masalah-masalah baru tersebut tetap tidak mengancam kedaulatan Negara. Negara dengan otoritas penuhnya dapat menyelesaikan semua persoalan yang muncul. Negara masih merupakan aktor terkuat dalam panggung global ini.
Hanya saja, ketika kita mencoba untuk memposisikan diri di tengah-tengah ekstrimis di atas, dalam hubungannya dengan proses modernisasi dan globalisasi saat ini, seringkali batasan fisik antar wilayah Negara menjadi tidak lagi berarti. Tidak adanya sekat antara Negara yang satu dengan Negara lain menjadikan permasalahan kedaulatan ini cenderung bermuara pada bentuknya untuk mempertahankan posisi dan eksistensi negaranya dengan cara tidak menutup diri dari pergaulan dan percaturan dunia, tetapi juga harus membedakan serta menyeimbangkan antara kepentingan perkembangan ekonomi dalam negeri dan kepentingan Negara lain.
4. Tuntutan Ekolog Politik agar Perusahaan Lebih Bertanggung Jawab
Pernyataan “One person profit’s may be another’s toxic dump” merupakan pernyataan keprihatinan yang banyak digunakan oleh ekolog politik. Pernyataan itu mengacu pada terciptanya hubungan asimetris antara masyarakat dengan negara dan swasta dalam mengelola sumberdaya alam. Pernyataan tersebut mengacu pada keterpinggirkan (marginality) dan kerentanan (vulnerability) atas ketidakberdayaan masyarakat akar rumput mengelola sumberdaya alam ketimbang elit-elit masyarakat lokal yang bekerja sama dengan negara dan perusahaan. Apabila sebuah daerah memiliki sumberdaya alam yang berlimpah, tampaknya masyarakat mempunyai kecenderungan untuk sulit mendapatkan akses pengelolaan potensi tersebut. Besar kemungkinan apabila potensi yang ada hanya menjadi komoditas ekonomi politik elit-elit negara dan perusahaan. Kemudian, ketidakadilan yang dirasakan masyarakat akan berujung pada konflik ekologi sebagai ekspresi kekecewaan. Begitu juga dengan ancaman bencana alam, yang sangat mungkin terjadi akibat lemahnya manajemen pengelolaan sumberdaya alam. Masyarakat akar rumput merupakan elemen sosial yang sangat riskan menjadi korban bencana alam. Berbagai deekologi yang kini terjadi di berbagai belahan Bumi, masyarakat akar rumputlah yang paling pertama dan paling lama merasakan bencana tersebut.
Tekanan hebat yang memaksa eksploitasi sumberdaya alam berlebih bagi penggerakan roda kapitalisme menjadi penyebab utama terciptanya kerentanan bagi masyarakat akar rumput. Dengan memahami dehumanisasi dan deekologi yang kerap terjadi akibat sistem industrialisasi tidak ramah lingkungan dewasa ini, maka tidak mengherankan apabila ekolog politik sering kali memberikan kritik atas kinerja sosial lingkungan perusahaan. Kata kunci keterpinggiran dan kerentanan yang hinggap pada masyarakat lokal merupakan representasi fakta kekuasaan asimetris. Birokrasi negara-negara Selatan masih menunjukan kebijakan tidak berimbang terhadap masyarakat akar rumput ketimbang kebijakan ekonomi politik bagi entitas perusahaan, struktur pemerintahan, dan elit-elit masyarakat sendiri. Bahkan pada beberapa kasus, negara-negara tertentu tengah mengalami fase weak-state dan menjelang collapse-state. Menyadari fenomena quasi-state (menyerupai negara) yang kini menghinggapi perusahaan multinasional di satu sisi dan weak-state di sisi lain, maka atas nama peningkatan kesejahteraan masyarakat luas mulai digagas bentuk gerakan sosial yang beradaptasi dengan arus politik sedemikian rupa. Apabila dalam gagasan awal kelompok Marxis mendambakan masyarakat tanpa kelas, perkembangan pasca-PD II gerakan tersebut mulai menyesuaikan diri terhadap gigantisme perusahaan.
Kiri Baru (new left) merupakan arus gerakan sosial yang mendorong entitas negara dan perusahaan untuk berfikir ulang mengenai studi dan implementasi kebijakan dalam memainkan peranannnya. Dalam sejarah gerakan sosial modern, Kiri Baru memaksa Negara dan perusahaan untuk meninjau kembali aspek-aspek humanisme dan ekologisme yang terbengkalai. Isu lingkungan hidup, isu humanisme dalam lingkup kelompok pekerja, isu feminisme dan penghargaan terhadap anak merupakan sebagian aspek sosial lingkungan yang menjadi tenaga pendorong untuk menilai kinerja negara dan terlebih lagi kebertanggungjawaban entitas bisnis. Bila pemikiran neoliberal semakin mendambakan masyarakat industri tanpa kontrol Negara dan invisible hands sebagai dampak positif keberadaan perusahaan, maka Kiri Baru “melunakkan” pemikirannya. Kelompok ini “menerima” fakta hegemoni perusahaan namun dengan berbagai catatan. Belakangan kelompok ini menjelma menjadi ntitas yang berfungsi layaknya pengawas bagi jejak kinerja negara dan perusahaan. Fungsi watchdog dengan berbagai pernyataan seputar kinerja sosial dan lingkungan perusahaan dan fungsi konsultatif dengan berbagal rekomendasi mutakhir merupakan dua fungsi yang menjadikan masyarakat sipil sebagai pilar sosial yang patut diperhitungkan.
Tanggung jawab perusahaan terhadap seluruh pemangku kepentingan inilah yang kini menjadi tuntutan penggiat sosial lingkungan. Gagasan aktivis untuk menerima kenyataan bahwa perusahaan menjelma menjadi penguasa aktivitas kehidupan masyarakat ini diiringi dengan tuntutan atas tanggung jawab perusahaan. Dewasa ini tanggung jawab tersebut dikenal dengan CSR. Pada akhirnya, tuntutan atas tanggung jawab perusahaan tidak hanya semata-mata pada
penanganan isu sosial secara aksidental – seperti yang kini dimaknai luas oleh masyarakat. Hakikat CSR yang kini menjadi tuntutan penggiat sosial lingkungan adalah tanggung jawab perusahaan sepanjang kegiatannya. Tidak hanya saat operasional perusahaan, tapi dalam rentang waktu semenjak persiapan, pra-konstruksi, konstruksi, operasional dan produksi hingga masa akhir dan menutup operasional perusahaan. Tidak hanya bersifat sumbangan sosial semata dan bersifat aksidental, tapi tanggung jawab perusahaan terhadap seluruh pihak yang terpengaruh dengan kegiatan perusahaan – shareholder, masyarakat, konsumen, masyarakat seputar tapak pabrik, perangkat pemerintah, dan lingkungan hidup.
Ekologi politik telah menuntun para pemangku kepentingan untuk menuntut tanggung jawab yang menyeluruh perusahaan atas jejak kegiatannya. Tuntutan itu hendaknya membuat CSR dimaknai secara substansial dan komprehensif. Tidak seperti kebanyakan pemaknaan CSR saat ini, yang dangkal dan kosmetikal.
5. Konsep Hubungan Negara, Perusahaan dan Masyarakat: Negara, Perusahaan sebagai Bagian dari Masyarakat (Community)
Konsep tentang hubungan antara perusahaan, masyarakat, dan Negara dalam proses globalisasi yang telah dijelaskan sebelumnya tadi, menjadi isu strategis dan cenderung rentan terhadap konflik antar ketiganya. Karena pada dasarnya, mereka semua adalah para pelaku utama dalam sistem dan proses yang ada dan sedang berlangsung. Dalam istilah yang lain, aktor-aktor yang dimaksud disini seringkali disebut juga dengan menggunakan konsep stakeholder.
Sering didengar bahwa stakeholder akan mengacu pada bentuk-bentuk kelompok sosial manapun di masyarakat, sehingga kadang tidak dapat dibedakan pula mana yang individu bergerak bebas sebagai anggota masyarakat atau sebagai stakeholder yang mempunyai hubungan dengan perusahaan. Secara definisi sendiri, stakeholder ini mempunyai pengertian sebagai bagian anggota komuniti, atau kelompok individu, masyarakat yang berasal dari wilayah perusahaan atau perusahaan tersebut berdiri, wilayah Negara dan bisa juga Negara lain (global) yang mempunyai pengaruh terhadap jalannya suatu perusahaan. Dan kelompok tersebut juga memiliki kepentingan antara satu dengan lainnya. Atau dengan kata lain adalah pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan mempunyai pengaruh terhadap jalannya suatu perusahaan.
Sehingga jika mengacu kepada pengertian aslinya, stakeholder berarti seorang atau organisasi yang mempunyai bagian dan kepentingan pada bentuk perusahaan. dan biasanya mereka memiliki tiga ciri atribut sebagai stakeholder, yaitu dimilikinya kekuasaan, legitimasi, dan kepentingan. Dan dari kesemua aktor yang ada, dalam era global seperti sekarang ini yang sebenarnya mempunyai peluang paling besar untuk mengambil semua keuntungan dari kesempatan yang ada adalah perusahaan atau pasar. Selain sebagai pihak yang memiliki kepentingan, legitimasi, dan kekuasaan, juga sekaligus sebagai pihak yang paling pantas menyandang konsekuensi dari semua proses produksi yang dilakukannya. Selain itu, majunya pendidikan warga Negara di era globalisasi ini juga secara tidak langsung memberikan kontribusi dari adanya kekuatan dan keberanian yang dimiliki warga untuk menuntut hak mereka, tidak hanya warga dalam Negara tersebut. Bahkan bukan sesuatu yang tidak mungkin tuntutan atas kewajiban kepada masyarakat dan lingkungan ini juga datang dari masyarakat internasional dan dunia sebagai konsekuensi dari proses globalisasi ini.
Tetapi bagaimanapun juga, upaya perusahaan sendiri dalam meningkatkan perannnya tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat dan kelestarian lingkungan tersebut membutuhkan sinergi dari multi pihak yang solid, baik dari pemerintah sendiri maupun dari komunitas atau masyarakat yang ada. Atau dengan kata lain, harus ada pola kemitraan antara ketiganya untuk saling bersepakat dalam bekerjasama untuk memenuhi sebuah kewajiban melaksanakan kegiatan tertentu, bersama-sama pula menanggung resiko maupun keuntungan dan secara berkala meninjau kembali hubungan kerjasama tersebut.
Ada tiga prinsip penting dalam membentuk kemitraan tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut :
a) Kesetaraan dan keseimbangan (equity)
Pendekatan yang ada bukan top down atau bottom up, bukan pula berdasar pada kekuasaan semata, namun hubungan yang saling menghormati, saling menghargai dan saling percaya.
b) Transparansi
Transparansi diperlukan untuk menghindari rasa saling curiga antar mitra kerja.
c) Saling menguntungkan
Suatu kemitraan harus membawa manfaat bagi semua pihak yang terlibat.
Adapun konsep kemitraan yang terjalin antara pemerintah dan dunia usaha atau perusahaan sendiri seharusnya adalah hubungan kemitraan yang sebenarnya dapat dideskripsikan, antara lain : pertama, dunia usaha atau perusahaan merupakan mitra pemerintah untuk mengelola sumber daya yang hampir tidak mungkin jika semuanya harus dikelola oleh pemerintah sendiri. Kedua, dunia usaha membantu pemerintah dalam memutar roda perekonomian dan menggerakkan pembangunan. Dengan adanya aktifitas ini, maka terciptalah lapangan pekerjaan dan mengurangi pengangguran. Ketiga, dunia usaha memberikan penghasilan kepada pemerintah antara lain dalam bentuk pajak dan retribusi. Agar terjalin suatu kemitraan yang saling menguntungkan, pemerintah seyogyanya memikirkan optimalisasi perannya dalam mendukung program tersebut.
Sedangkan konsep kemitraan antara masyarakat dan dunia usaha sendiri, seharusnya terjalin kerjasama yang sama kuatnya juga antara keduanya. Peran masyarakat terutama komunitas local sangat menentukan dalam upaya perusahaan memperoleh rasa aman dan kelancaran dalam berusaha. Jika masyarakat local yang ada merasa diajak dan dirangkul dalam keseluruhan proses yang dilakukan oleh perusahaan yang ada, maka sebenarnya akan sangat menguntungkan bagi perusahaan sendiri nantinya. Yaitu dengan dimilikinya jaminan sosial (sosial security). Begitu juga dengan masyarakat, dan kesemuanya akan memberikan mutual benefit diantara kedua belah pihak. Hubungan timbal balik inilah yang akan menumbuhkan rasa memiliki bagi warga di sekitar perusahaan tersebut bearda. Secara tidak langsung, perusahaan juga akan mendapatkan dukungan dari warga masyarakat yang ada (licence to operate). Dan bentuk hubungan kemitraan yang mutualisme dan saling menguntungkan inilah yang selanjutnya menjadi bidang garapan dalam program CSR.
Tidak dapat dipungkiri lagi dengan dunia yang semakin mengglobal ini, apapun yang terjadi di belahan dunia tertentu akan mempengaruhi belahan dunia lainnya. Dengan dunia global ini, masyarakat di dunia yang semula terpecah-pecah dalam klasifikasi Negara, agama, suku bangsa dan lainnya, seakan-akan telah menjadi masyarakat dunia yang satu. Globalisasi tidak hanya mempunyai dimensi ekonomi namun ia juga mempunyai dimensi politik, teknologi, dan budaya. Sehingga dengan cara pandang ini, perusahaan tidak lagi dipandang sebagai bagian luar dari masyarakat, tetapi ia bagian dari masyarakat itu sendiri.
Berkaitan dengan masyarakat luas dimana perusahaan merupakan bagian dari mereka, perusahaan atau perusahaan dapat dipandang sebagai suatu komuniti yang akan selalu mempunyai hubungan sosial dengan komuniti yang lain, dimana akan terdapat juga stereotype terhadap komuniti-komuniti lain. Dalam paradigmaa ini kepedulian pihak perusahaan akan selalu dipertanyakan sebab ia telah menjadi bagian dari masyarakat yang lebih luas, dimana apapun yang terjadi di dalam masyarakat akan juga mempengaruhi pihak perusahaan sendiri. Demikian sebaliknya. Pihak perusahaan tidak dapat lagi kemudian memanfaatkan sepenuhnya akses-akses kuasa para penguasa untuk mengamankan kepentingan-kepentingannya.
Situasi di atas pada akhirnya membuat pihak perusahaan memikirkan kembali strategi bisnisnya. Mereka dituntut untuk lebih peduli terhadap kepentingan-kepentingan masyarakat umum, lebih bertanggung jawab, lebih memperhatikan kepentingan jangka panjang daripada kepentingan-kepentingan yang sifatnya sesaat dan sepihak, dan terutama adalah kepedulian mereka akan asas keberlanjutan dan partisipasi yang selama ini tidak menjadi perhatian mereka sepenuhnya.
6. Lingkup Penerapan CSR yang Baik
Sebagaimana definisinya yang tidak tunggal, beragam pendapat terkait dengan lingkup penerapannya juga telah dilontarkan.misalnya saja lingkup penerapan CSR gagasan prince of wales international business forum yang mengusung lima pilar. Pertama, upaya perusahaan untuk menggalang dukungan SDM, baik internal (karyawan) maupun eksternal (masyarakat). Caranya adalah dengan melakukan pengembangan dan memberikan kesejahteraan kepada mereka, istilahnya building human capital. Kedua, memberdayakan ekonomi komunitas, istilahnya strengthening economies. Ketiga, menjaga harmonisasi dengan masyarakat sekitar agar tidak terjadi konflik, istilahnya assessing sosial cohesion. Keempat, mengimplementasikan tata kelola yang baik, istilahnya encouraging good corporate governance. Kelima, memperhatikan kelestarian lingkungan, istilahnya protecting the environment.
Sumber yang lain lagi menyatakan, bahwa hasil penelitian atas praktek tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR di tujuh Negara Asia mengklasifikasikan CSR mereka ke dalam tiga aspek, yaitu: keterlibatan dalam komunitas, pembuatan produk yang bisa dipertanggungjawabkan secara sosial, dan employee relations. Yang termasuk ke dalam keterlibatan dalam komunitas itu diantaranya pengembangan masyarakat (community development), pendidikan dan pelatihan kegiatan keagamaan dan olah raga. Sedangkan yang masuk ke dalam kegiatan pembuatan produk yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial adalah kesehatan dan keselamatan kerja, proses dan produk yang ramah lingkungan termasuk kepedulian terhadap konservasi lingkungan hidup. Adapun yang masuk ke dalam employee relations adalah kesejahteraan pekerja dan keterlibatan pekerja.
Umumnya, perusahaan-perusahaan yang telah berhasil menerapkan CSR menggunakan pertahapan sebagai berikut :
a) Tahap Perencanaan
Perencanaan ini terdiri dari tiga langkah utama, yaitu: Pertama, awareness building, merupakan langkah awal untuk membangun kesadaran mengenai arti penting CSR dan komitmen manajemen. Kedua, CSR assessement, merupakan upaya untuk memetakan kondisi perusahaan dan mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu mendapatkan prioritas perhatian dan langkah-langkah yang tepat untuk membangun struktur perusahaan yang kondusif bagi penerapan CSR secara efektif. Ketiga, membangun CSR manual building, yaitu dengan menyusun pedoman secara manual atau pedoman implementasi CSR itu sendiri.
b) Tahap Implementasi
Pada tahapan ini, pada dasarnya ada tiga pertanyaan yang mesti dijawab. Siapa orang yang akan menjalankan, apa yang mesti dilakukan, dan juga bagaimana cara melakukan sekaligus alat apa yang diperlukan. Atau dalam istilah manajemen popular, kesemua pertanyaan tersebut dapat diartikan menjadi proses organizing, staffing, directing, controlling, dan evaluating.
c) Tahap Evaluasi
Setelah program CSR diimplementasikan, langkah selanjutnya adalah melakukan evaluasi program. Yang selalu harus dilakukan secara konsisten dan berkala sewaktu-waktu. Evaluasi dilakukan bukan untuk mencari-cari kesalahan. Justru tahapan ini dilakukan untuk bahan pertimbangan pengambilan keputusan dna kebijakan kedepannya.
d) Pelaporan
Pelaporan diperlukan dalam rangka membangun sistem informasi baik untuk keperluan proses pengambilan keputusan maupun keperluan keterbukaan informasi material dan relevan mengenai perusahaan. jadi selain berfungsi untuk keperluan para pemegang saham atau shareholder, juga untuk stakeholder lainnya yang memerlukan.
7. Penutup
Dari kesemua bahasan di atas, pada akhirnya dapat diambil beberapa kesimpulan, diantaranya sebagai berikut :
a) Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa implementasi CSR oleh perusahaan-perusahaan di era globalisasi ini telah menjadi kebutuhan mutlak, bukan lagi sekedar kewajiban.
b) Secara internal, pendekatan neo liberal dan kapitalisme dunia pada dasarnya mengakui peranan CSR bagi kesuksesan MNC ini sendiri. Perbedaannnya adalah lebih pada titik awal dimana MNC tersebut memulai perannya dalam CSR nya, atau dalam kata lain tujuan awal yang digunakan oleh masing-masing MNC tersebut saat memutuskan untuk menjalankan program CSR mereka.
c) Dari sisi eksternal, tekanan terhadap perusahaan-perusahaan raksasa dunia atau MNC untuk menerapkan CSR semakin besar, karena selain di pantau dari Negara asalnya, di Negara tujuan juga berbagai lembaga non pemerintah sekalipun, turut berkepentingan untuk mengawasi semua kegiatan mereka.
d) Penerapan CSR sudah menjadi keharusan bagi semua perusahaan yang masih menginginkan perusahannnya maju dna diterima oleh masyarakat local, bahkan masyarakat dunia. Globalisasi dalam hal ini memberikan kontribusi peran yang tidak sedikit dalam menekan para pelaku ekonomi dunia tersebut untuk terus melakukan dan menerapkan CSR dalam perusahaan-perusahaan mereka.
e) Dengan melakukan CSR dalam perusahaan dan proses usaha mereka, sebenarnya secara tidak langsung hal ini akan menimbulkan keuntungan tersendiri bagi semua pihak. Menghilangkan konflik kedudukan dan dinamika hubungan yang selalu polemik antara masyarakat, Negara, dan pasar. Dengan CSR, maka ketiganya dapat dipertemukan dan dapat menjalin hubungan kemitraan yang saling menguntungkan satu sama lain. Bagi perusahaan, mereka akan mendapat suatu jaminan sosial (sosial security) dan juga ijin sosial (sosial licence )dari masyarakat, sedangkan bagi masyarakat, akan merasa dilibatkan dan muncul perasaan memiliki dengan perusahaan yang ada disekitar mereka. Begitu juga dengan Negara, akan mampu memposisikan dirinya sebagai pihak yang memantau dan melakukan evaluasi atas semua proses sosial yang ada. Sehingga aka nada sistem check and balance antara kesemua aktor yang ada tersebut.
Sumber Bacaan
Budiman, Arief, 2000, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Budimanta, Arif, edt., 2004, Corporate sosial Responsibility: Alternatif Bagi Pembangunan Indonesia, Jakarta: ICSD (Indonesia Centre for Sustainable Development).
Fakih, Mansoer, DR., 2001, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Jakarta: Insist Press.
Giddens, Anthony, 2003, Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Parker, S.R. edt., 1985, Sosiologi Industri, Jakarta: Bina Aksara.
Sukada, sonny, edt., 2007, Membumikan bisnis Berkelanjutan: Memahami konsep dan Praktik Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Jakarta: Indonesia Business Links.
Wibisono, Yusuf, 2007, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR (corporate sosial responsibility), Gresik: Fascho Publishing.